Ibu dan Si Pre Teen: Tantangan Mendampingi Anak Pra Remaja
Pre Teen, Pra remaja adalah fase yang cukup menantang untuk dihadapi oleh para orang tua. Mereka sudah tak mau lagi disebut anak-anak, tapi juga belum masuk masa remaja. Masa pra remaja ketika anak-anak mulai mengalami masa transisi baik secara fisik maupun psikis.
Sering saya dengar bahwa repotnya membesarkan anak-anak (terutama sambil bekerja di luar rumah) akan segera berlalu bersama waktu saat anak-anak tumbuh besar. Ah ternyata hal tersebut tak sepenuhnya benar. Saya kok merasa masa-masa anak-anak memasuki pra remaja dan remaja terasa makin challenging bagi tugas kita sebagai orang tua.
Mungkin yang paling tepat adalah, setiap masa tumbuh kembang anak memiliki tantangannya sendiri. Karena memang demikianlah adanya. Soal berat ringan juga menjadi sangat tergantung pada kasus yang kita hadapi. Terlebih karena jarak anak pertama dan kedua saya berdekatan sehingga ada dua pre teen dengan permasalahan masing-masing yang harus saya hadapi. Semangat Ibuuk!
Baca: Menyiapkan si Pra Remaja memasuki Masa Pubertas
Ada beberapa hal yang harus kita waspadai,
Kenapa ya anak remaja dan pra remaja kok jadi nyebelin? Lucunya dan manisnya mereka saat kanak-kanak kok kayak hilang entah kemana. Sebegitunya kah? Nyatanya memang begitu, tapi ya mungkin di sinilah tantangan kita sebagai orang tua untuk menghadapinya bukan malah menjauhi atau bahkan memaksakan maunya kita.
Kalau dari segi sikap beberapa kondisi ini yang saya temukan dari Ka Al, terutama saat Ia mulai punya lingkungan pertemanan baru sebagai anak Pra Remaja di sekolah menengah pertamanya. Saya awalnya agak ribet dan kaget, trus bete tapi lama-lama mulai saya pelajari dan mencoba mengkompromikan kondisi tersebut.
Lebih Suka Adu Argumen
Ini sih yang paling terasa. Meski Kakak bukan type anak "yes mom", tapi dulu jika kita harus berdiskusi atau Ibu menyampaikan sesuatu lumayanlah didengar dulu apa yang Ibu sampaikan, apa pendapat dan arahan Ibu. Kalau pun ada yang tidak sreg baru deh lanjut diskusinya, trus gantian kakak yang mengemukakan pendapatnya.
Sekarang agak berbeda.
Mungkin karena lingkungannya sudah semakin luas. Kakak juga mendapat banyak input terhadap sesuatu hal dari banyak pihak, termasuk terpapar informasi digital lewat gadgetnya. Sekarang bahkan Ibu belum selesai bicara, Kakak sudah punya stand poin sendiri dan akhirnya jadi kekeuh sama pendapatnya. Well kadangkala gak beda sih maksudnya dengan yang saya sampaikan namun penangkapanya menjadi berbeda karena dia sudah punya sikap sendiri. Kadang ini jadi bikin kita adu argumen dan terkesan si Kakak maunya membantah melulu.
Sebel gak sih? Iyes laah
Tidak jarang jawaban "ngasal" bakal dibalikin lagi dan bikin kita mati kutu. Sebaliknya saat kita terlalu kekeuh sama maunya kita, komunikasi juga jadi buntu. Saat-saat PMS biasanya saya bakalan lebih defensif. Deuh Mamak macam apa aku ini. Ye, Mamak juga kan manusia.
Biasanya kalo saya sudah tenang, saya bakalan whatsapp dia duluan. Minta maaf dan jelaskan kondisinya. Saya gak gengsi kok, yang penting udah agak reda panasnya. Baik saya maupun si Kakak. habis itu sih biasanya dia langsung manja-manja lagi. Peluk-peluk, cium-cium bilang sayang. Tanpa membalas wa saya. Hmm tetep yaa... ada aja yang masih nyangkut.
Tak Lagi Terbuka
Nah, waspada deh klo sekarang si pra remaja udah mulai jarang curhat sama kita. Biasanya semua dicurhatin. Soal guru, pelajaran, adek-adeknya, teman, bahkan soal jajanan yang lagi ngehits, atau bahkan gosip artis atau selebgram yang lagi in. Yang belakangan ini biasanya Ibu tahu dari mereka.
Kemana dia sekarang? Terlebih sejak memiliki gadget sendiri.
Baca Juga: Kapan anak-anak bisa memiliki gadget sendiri?
Saya perhatikan, sekarang circle pertemanannya juga sudah semakin banyak. Dia juga punya beberapa grup wa yang otomatis merupakan genk-nya sendiri. Awal-awal saya agak resah dan cemburu. Hmm sombong ya sekarang, udah jarang banget curhat sama Ibuk.
Trus kalo Ibunya kepo, nanya-nanya, jawabannya: "Ihh Ibu apaan sih mau tau aja." atau "Mau tahu aja apa mau tahu bangeet." sambil tetep gak mau diceritain. Hmm gemes.
"Kan kakak janji dan kita udah sepakat saat dibelikan gadget bahwa "tidak ada rahasia di antara kita".
"Iya deeh nanti aku cerita. Tapi gak penting kok buat Ibu."
Naah gitu deh. Awal-awal punya gadget demanding banget sama Ibunya. Anytime ngechat, video call, nelpon eh lama-lama. Sibuk sendiri deh. Tapi saya gak pantang menyerah sih. Tetap saya jaga kekepoan saya dan menunjukkan rasa ingin tahu tentang cerita si Kakak. Jangan sampai Kakak beranggapan ah Ibu juga gak bener-bener mau tahu kok. Trus dia berhenti berceita.
Meski sekarang agak berkurang dan cerita lebih banyak kalau mau curhat yang intinya mengeluh tapi gak papa. Setidaknya Kakak masih tetap menganggap Ibunya sebagai tempat bercerita. Jangan sampai kita betul-betul buta dan tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada gadis kecil kita.
Memang saya pun membatasi diri untuk hal-hal yang tampaknya si kakak masih enggan atau belum mau bercerita. Misalnya soal teman cowok atau cerita sejenisnya. Bersama waktu dan dengan trik-trik tertentu terkadang akhirnya muncul juga cerita itu meski tak diminta.
Salah satu cara agar Ia tetap mau cerita adalah saya selalu mencoba bisa secara tidak langsung terlibat dalam pertemanan dengan teman-temannya. Misalnya dia sedang cerita tentang salah satu teman cowok di kelasnya yang lucu dan kocak. Saya "pura-pura" kepo, mana photonya, ada gak? Ibu mau tahu. Meskipun sejujurnya nanti saya lupa lagi yang mana. "Woooh lucu anaknya, pipinya tembem, salam cubit ya dari Ibu. Gemes lihat pipinya kayak anak TK. :D ", "Ih ibu, masak aku cubit pipinya sih". Semacam itulah.
Meskipun anak sekarang bahkan lebih suka menyimpan sendiri kisah pertemanannya daripada menceritakan pada orang tua. Tapi sebisa mungkin tunjukkan bahwa kita tetap mau tahu dan masih ingin dilibatkan.
"Kalau temen-teman Kakak males dan enggan cerita atau dekat atau terbuka sama orang tua mereka, terutama Ibunya, ya itu pilihan mereka. Tapi Ibu gak mau seperti itu. Kita tetap harus jadi BFF meskipun kakak udah punya banyak BFF baru. Titik!"Saya agak memaksa sekaligus, memberikan penekanan bahwa keterbukaan di antara kami sangat penting. Meski dengan catatan si Kakak selalu wanti-wanti bahkwa saya tidak boleh rempong atau malu-maluin di depan teman-temanya. Hmm maksudnya via media sosial gitu. Jadi tetap harus jaga image dia di mata teman-temannya. Jangan terlalu mengekspose dia di IG saya misalnya. "Ibu malu tahu, temenku kan ada yang follow Ibu, dihapus tuch storynya atau ganti captionnya." Semacam itu. Halah, baiklah nak! Ngikut aja Ibu, asalkan tetap berlaku rule keterbukaan antara kita.
Kocak sekaligus ngeselin waktu dia cerita percakapan di antara teman-temannya.
"Eh kita main yok besok ke rumah elo.."
"Yaah jangan, besok nyokap n bokap gw gak ada di rumah."
"Lhaa kan bagus begitu malah. Ngapain, rempong bukannya klo ada bonyok di rumah".
Lalu dia tertawa.
"Naah kayak gitu tuch bu teman-teman aku klo mau main atau ngumpul di rumah salah satu di antara kita."
"Jadi, aku tuh masih termasuk anak baik lho bu, karena apa-apa selalu cerita sama Ibu."
Mudah Stress & Mood Swing
Ini yang paling bikin pusing. Kita sih selalu diminta dia untuk santuy! "Santuy bu, santuy!" Lhaa dianya yang gak santai. Segala hal dikhawatirkan, bikin stress, ngambek-ngambek, marah-marah, kesel sendiri dan seterusnya. Ini mungkin kembali ke karakter masing-masing anak. Type Ka Al memang perfectionist, segala sesatu wajib hukumnya seperti yang dia pikirkan, dia mau, dan dia inginkan. Ketika kenyataan berkata lain, agak sulit buat berkompromi. Ini efeknya jadi mudah stress dan saya jadi ikut-ikutan stress.Kondisi ini sudah terasa ketika Ia masuk kelas 6 dan ritme di sekolah dibentuk untuk drilling persiapan UN. Walaupun berkali-kali Ibunya menekankan untuk lebih santai dan jangan sampai tertekan dengan jadwal yang ketat dan target yang ingin dicapai tapi tetap saja karena pribadinya yang kompetitif dan maunya perfect akhirnya dia sendiri yang misuh-misuh.
Well, walaupun usaha keras dan stress nya berbuah manis juga sih di masa akhir sekolah lalu dan juga di semester pertama sekolah menengah pertamanya ini. Tapi melihat bagaimana beratnya "beban" yang Ia ciptakan sendiri di pundaknya kadang membuat saya merasa kasihan sekaligus gemas.
Saya merasa sudah sangat kompromis dengan tidak memberikan target tertentu. Intinya enjoy your first year in new school. Saya tahu dia agak sulit beradaptasi di awal-awal masa sekolah. Inget zaman di SD dulu sampai kelas 6 setiap tahun ajaran baru selalu stress memulai awal tahun ajaran. Penyebabnya entah apa, sudah coba diteliti tetap gak clear. Intinya sih lebih ke perasaan nyaman dan tidak nyaman.
Kemarin di awal masuk sekolah, saat tahu dia tidak satu kelas dengan satu pun teman SD-nya yang sama-sama melanjutkan di sekolah ini, dia langsung menangis. Saya susah payah meyakinkan bahwa dia pasti bisa melewatinya. Bahwa its just a matter of time. Bahwa sisi positifnya adalah dia akan berbaur dan mendapat banyak teman baru termasuk teman dekat.
Setelah melewati beberapa hari dia mulai membuktikan apa yang Ibunya sampaikan benar. Meski masih suka mengeluh karena Ia benar-benar tak punya teman lama di kelasnya namun bersama waktu Ia survive. Bahkan di pertengahan semester tiba-tiba ditunjuk menjadi ketua kelas.
Well, ada plus minusnya sih. Minusnya makin besar tanggungjawabnya termasuk terhadap kelas dan guru, semakin tinggi tingkat stressnya. Belum lagi dia harus beradaptasi dengan banyak pelajaran baru dan cara belajar di sekolah tingkat lanjut dan negeri yang memang berbeda dengan sekolahnya di SD yang swasta.
Banyak hal yang harus dia adaptasi. Saya selalu tekankan untuk lebih relax dan bisa berkompromi. Tapi ternyata tidak mudah. Saking santainya saya (menurut dia), dia bahkan merasa jadi stress karena saya seperti abai. "Ibu jangan gitu dung, masak kalau aku capek belajar, malah bilang ya udah gak papa gak usah belajar, istirahat aja. nanti kalau besok aku gak bisa di sekolah gimana?" Naah ya gimana kalau ngeluh capek, pusing kan solusinya istirahat ya.
Atau...
"Ibu kok santai banget sih, cuek banget deh, Ibu kasih aku target dung, supaya aku semangat belajarnya..." Naah gak dikasih target aja udah stress, gimana mau diberi target. Ya aku gak tega dung :D. Kadang dia juga bandingkan dengan Ibu teman-temannya yang strik dan punya target sehingga teman-temannya mau gak mau belajar keras. Nah Ibu justru gak mau membebani kok nak.
Ibunya salah terus. Terima aja kata-kata dan amarahnya, senyumin dan banyakin stock sabarnya.
Selain karakter, saya percaya aspek hormonal juga mempengaruhi. Mood swing sangat terasa di usia pra remaja ini. Sebagai pendamping yang baik, kita hanya perlu stock sabar jauh lebih banyak. telinga yang siap sedia mendengarkan dan pelukan yang siap menghangatkan tubuh mungilnya yang terasa makin mungil di awal masa sekolah menangahnya ini.
Kadang memang kita hanya perlu mendengarkan dan diam tanpa menimpali rentetan kekesalan dan curhatnya. Biarkan Ia menangis, lalu peluk dan elus-elus punggungnya. Well, gimana kalau dia sudah mulai menstruasi yaa? Hmm siap-siap aja nih :D. Yang paling pusing mungkin Ayahnya, bakalan ada 3 orang perempuan yang galaknya kayak macan setiap bulan saat mereka PMS.
Baca Juga: Kapan Anak Perempuan mulai Menstruasi.
Hal lain yang juga sangat mudah menyulut stressnya adalah soal (perubahan) fisik (Ia dan teman-temannya). Si Kakak masih seperti waktu SD termasuk kelompok anak yang mungil di antara teman-temannya yang secara fisik sudah mulai tumbuh tinggi dan berkembang. Dulu Ia menikmati menjadi si mungil dan ogah menjadi besar.
Kemudian ketika jelang akhir SD dan memasuki masa sekolah baru Ia mulai merasa terganggu dengan fisiknya yang masih terhitung mungil ini. Selalu saya sampaikan padanya, "kecil-kecil cabe rawit kak, biar kecil tapi pedes". Ini rupanya lumayan memotivasinya untuk tetap percaya diri dengan tubuh mungilnya. "Maksimalkan potensi diri kakak, tunjukkan bahwa meskipun kecil tapi kakak bermakna."
Tentu saja semakin hari, menjadi si mungil di sekolah menengah semakin mengganggu perasaannya. Saat pelajaran olahraga, meski Ia jago lari namun olahraga lain sangat membutuhkan fisik. Semester pertama ini Kaka malah makin kurus. Makannya makin susah, belajar makin keras, waktu istirahat juga berkurang. Ia terlalu keras pada dirinya sendiri tanpa diimbangi dengan menunaikan hak terhadap badannya. Makanya masih susah. Malas alasannya, juga terlalu sibuk dan serius belajar.
Bekal makan siang, bahkan saat menu sudah sesuai dengan seleranya, jarang dihabiskan. Kadang kalau saya gak tega saya suapi juga dia makan, tapi tentunya tidak bisa sering-sering. Sudah sering saya ingatkan soal makan dan pertumbuhan fisiknya ini. Saya juga sampaikan informasi soal stunting.
Bukan tidak bertumbuh sih, sebetulnya makin hari Kakak makin tinggi terbukti baju-bajunya sudah banyak yang tidak cukup. Beberapa baju saya juga bisa saya lungsurkan palingan ukuran pinggangnya yang saya kecilkan. Alhamdulillah berarti makin tinggi, Ia tumbuh tapi belum berkembang maksimal.
Kondisi ini juga membuatnya stress, sebaliknya stress juga membuatnya susah makan. Multivitamin? Hmm entahlah kami sudah gonta ganti berikan tapi belum ada efek signifikan. Hanya saja sejak libur sekolah dan selama umroh, meski masih malas-malasan makan, pipinya mulai berisi. Mungkin memang "libur" dari belajar yang membuatnya stress yang membuat dia lebih menikmati asupan makannya. Hmm masak iya, liburan terus yaa.
Hari ini mulai masuk sekolah lagi dan saya harus menyusun strategi agar dia tidak terjebak berlebihan dan stress dengan rutinitas belajarnya lagi. Masa pra remajanya masih lama, bersambung dengan masa remajanya. Permasalahan dan tantangan akan selalu ada. Ibu dan orang tua wajib siap sedia mendampingi mereka dalam setiap fasenya. Tugas menjadi orang tua memang tidak ada cutinya ya. Semangaaat!
Sahabat Mom of Trio punya cerita sendiri menghadapi sang pra remaja? Sharing yuuk!
Komentar
Posting Komentar