Hakikat Qadha dan Qadr


Materi satu ini sejujurnya terasa berat buat saya. Pengetahuan yang sangat minim yang saya dapatkan dahulu terkait dengan konsep Qadha dan Qadar yang selama ini mengakar di pikiran juga membuat saya membutuhkan waktu lebih untuk mencerna.



Setelah sekitar 4 kali mengulang mendengar materi kuliah yang satu ini. Saya baru berani menyimpulkan pemahaman saya. Di ujung, saya membincangkannya dengan Pak Suami dan mensimulasi konsep ini dalam beberapa kejadian yang kami alami. Diskusi yang membantu saya mendalami lagi sekaligus sharing dengan Pak suami kan.

Segeneral dan seumum bahwa segala sesuatu itu terjadi karena ketetapan dan ketentuan Allah. Yang kadang dalam penerapannya, rasanya saya sering mispersepsi. Alhamdulillah bisa dapat materi super keren ini. Ilmu dan pemahaman yang menurut saya mendasar sekali untuk dikuasai oleh seorang muslim. Pun ini merupakan salah satu rukun Iman. Iman kepada Qadha dan Qadar Allah. Yang seperti apa?

Baca: Bengkel Diri- Sekolah Memperbaiki Diri

Bismillah saya mencoba untuk mengulang kembali apa yang saya terima di kelas online Bengkel Diri terkait dengan konsep Qadha dan Qadr. Pematerinya masih Ummu Roza.

Pada bagian pengantar disampaikan bahwa masalah Qadha dan Qadr sebetulnya tidak pernah muncul di zaman sahabat rasul. Masalah ini baru muncul sekitar abad ke 4 Hijriyah. Berawal dari perkembangan ilmu pengetahuan Islam, yang mana saat itu para ulama mulai menerjemahkan buku-buku filsafat Yunai ke dalam bahasa arab. Mereka tertantang untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam kajian filsafat Yunani tersebut.

Masalah apa saja kah yang dimaksud? Ada beberap hal yang menjadi permasalahan seputar kehendak Allah dan manusia. Jika manusia menulis, kemampuan menulis itu kehendak siapa? Kehendak Tuhan atau manusia? Jika manusia sholat itu kehendak siapa? Tuhan atau manusia. Sebaliknya jika manusia mencuri atau berzina, semua terjadi atas kehendak siapa?kehendak Tuhan atau kehendak manusia. dan seterusnya.

Dari permasalahan tersebut kemudian muncul konsekuensi jawaban. Jika jawabannya semua kehandak Allah, lalu mengapa Allah menghendaki ada manusia yang "dipaksa" untuk berbuat baik atau sebaliknya berbuat jahat? Di mana keadilan Allah.?Mengapa kalau manusia "dipaksa" berbuat jahat, kelak di akhirat ada balasan siksa neraka? Apakah Allah zholim? SubhanaAllah, apakah memang demikian?

Sebaliknya jika jawabannya adalah semua kehendak manusia. Berarti manusia punya kebebasan untuk berbuat. Kebebasan manusia ini tentu harus berhadapan dengan kehendak Allah yang artinya kebebasan manusia membatasi kehendak Allah? benarkah demikian? Kalau demikian berarti Allah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh manusia. Allah juga belum tahu manusia akan masuk ke syurga atau ke neraka. Berarti iradah Allah terbatas?Ilmu Allah terbatas. SubhanaAllah, Benarkah demikian?

Jika tidak demikian, maka berarti Allah maha Berilmu, Maha Mengetahui apa yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan apa yang belum terjadi. Baik yang lahir maupun bathin. Berarti Allah pasti sudah mengetahui apa yang belum dilakukan manusia apa yang nantinya akan menjadi baik atau akan menjadi jahat. Termasuk Allah juga mengetahui secara pasti apakah kelak manusia akan masuk neraka atau syurga. Jika Allah sudah tahu akan kemana manusia kelak, lalu untuk apa manusia perlu berbuat baik, beribadah dan berdo'a. Toh sudah ketahuan kan sama Allah? SubhanaAllah, apakah demikian?

Bingung kan?

Sama dong :)

Permasalahan terus berkembang hingga menyangkut soal hidayah. Hidayah itu kehendak manusia atau hasil usaha manusia? Soal tawakkal, apakah manusia harsu berpasrah total kepada Allah atau manusia harus senantiasa berusaha? soal rezeki itu ketentuan Allah atau hasil usaha manusia. Ajal itu ketetapan Allah atau ada usaha manusia di sana untuk menahan misalnya. Termasuk soal do'a. Apakah do'a bisa mengubah ketentuan Allah atau tidak. Dan banyak masalah lainnya.

Di kalangan umat Islam sendiri terdapat 2 kelompok ekstrim yakni kelompok pertama mu'tazilah dan qadariyah yang memahami manusia itu memiliki kebebasan berkehendak. Kelompok kedua diwakili Jabariyah yang memahami manusia itu tidak memiliki kebebasan, semua terjadi atas kehendak Allah.

Baca juga: Adab Menuntut Ilmu

Di dalam Al Quran terdapat banyak dalil yang mengenai Qadha dan Qadr di antarnya QS Ali Imran:145, QS Al a'raf: 34, QS Al Hadid: 22, QS. Saba: 3 dan banyak lagi.



Dalam memahami masalah Qadha dan Qadr perlu dicamkan bahwa qadha dan Qadr tidak menyangkut pada 4 hal:
  1. Perbuatan manusia: apakah diciptakan Allah atau diciptakan manusia?
  2. Iradah Allah: apakah meliputi semua kejadian atau tidak?
  3. Ilmu Allah: apakah sudah mengetahui sebelum, selama, dan sesudah kejadian atau tidak?
  4. Kitab Lauhil Mahfudz: apakah sudah mencatat semua kejadian dan tidak mungkin diubah atau bisa diubah?
Konsep Qadha dan Qadr tidak membahas ke empat masalah tersebut karena memang tidak berada dalam ranah yang sama. Keduanya merupakan hal yang berbeda dan tidak bisa dicampuradukkan karena tidak akan menemukan titik terang. Ke empat hal ini tidak ada kaitannya dengan Qadha Qadr.

Terkait dengan Qadha dan Qadr ada hal yang sebaiknya lebih kita fokuskan yakni terkait dengan perbuatan manusia.

Perbuatan manusia itu tidak perlu dibahas secara panjang lebar apakah berangkat dari kebebasan atau karena keterpaksaan. Kita bebas berbuat, benar kah? Mengapa kita tidak bisa mengendalikan detak jantung kita? Sebaliknya kita berbuat karena terpaksa karena kehendak Allah. Lalu mengapa jika baik ada pahala jika buruk mendapat siksa?

Fakta yang benar terkait perbuatan manusia adalah bahwa perbuatan manusia itu ada yang berada di dalam wilayah yang dikuasai manusia dan ada yang berada di wilayah yang menguasai manusia. Perbuatan yang dikuasai manusia terjadi karena adanya hubungan sebab akibat dan akan dihisab oleh Allah.   Jika sesuai syari'at akan mendapat pahala, jika melanggar syariat akan mendapat siksa.

Sementara perbuatan manusia yang berada di wilayah yang menguasai manusia tidak terjadi karena hubungan sebab akibat, unpredictable. Perbuatan ini baik yang terikat nidzamul wujud (sesuai sunnatullah) maupun di luar nidzamul wujud itu merupakan Qadha Allah dan tidak akan dihisab.

Nidzamul wujud itu sunatullah yang tidak bisa diubah seperti manusia tidak bisa terbang, mata kita dua, kita berkulit hitam berambut lurus dan seterusnya. Hal ini merupakan Qadha Allah yang tidak dihisab. Sedangkan di luar nidzamul wujud misalnya kejadian pemburu yang hendak menembak burung ternyata tanpa sengaja pelurunya mengenai orang lain sampai meninggal. Ini merupakan ketetapan Allah si luar nidzamul wujud. Keduanya tidak akan dihisab.

Qadr itu artinya ukuran, takaran, atau kadar. Setiap benda memiliki khasiat, misalnya api membakar, pisau memotong, roti mengenyangkan. Allah memberikan khasiat pada setiap benda itu yang disebut sebagai Qadr Allah. Khasiat ini tidak dihisab. Khasiat suatu benda dapat saja dicabut oleh Allah. Allah berhak untuk mencabut khasiat suatu benda misalnya mencabut panas dari api saat membakar Ibrahim. Bukan karena Ibrahim yang sakti tetapi karena Allah angkat/cabut khasiat panas dari api tersebut.

Benda dengan khasiat ini bebas digunakan oleh manusia. Manusia punya pilihan bebas untuk menggunakan dan memanfaatkannya dan ini akan dihisab oleh Allah. Jika digunakan sesuai syariat akan mendapat pahala, jika digunakan untuk melanggar syariat maka akan mendapat siksa. Jadi meskipun kita bebas menggunakan khasiat setiap benda namun kita harus menggunakannya dengan benar dan sesuai syariat. Contohnya gadget, kita bebas menggunakannya namun cara kita memanfaatkan gadget akan dihisab.

Baca Juga: Akidah Kokoh Bekal Kehidupan


Bagaimana dengan tubuh manusia? Semua anggota tubuh manusia memiliki khasiat. Mata untuk melihat, mulut untuk berbicara, kaki untuk berjalan dan seterusnya. Termasuk akal manusia juga memiliki khasiat. Oleh karena itu Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih melakukan apa terhadap tubuhnya. Inilah yang disebut Qadr Allah dan ini tidak akan dihisab. Jika kita lapar maka itu tidak akan dihisab. Tetapi bagaimana cara kita memenuhi rasa lapar itu yang akan dihisab. Jika dilakukan sesuai syariat maka akan mendapat pahala dan sebaliknya.

Selanjutnya bagaimana ita dapat mengaitkan dua kehandak? antara kehendak Allah dan kehendak manusia. Iradah atau kehenak Allah memang meliputi segala sesuatu, termasuk terhadap kehendak manusia. Bagaiman kehendak Allah terhadap kehendak manusia? Ternyata Allah telah berkehendak kepada manusia untuk memiliki kehendak bebas. Allah berikan kita kebebasan dan diberikannya kita akal yang juga dibebaskan untuk berpikir. Sehingga ketika akal manusia memiliki kemampuan untuk bebas memilih dan berbuat, hakikatnya itu kehendak Allah juga.

Ada satu firman Allah yang perlu kita perhatikan terkait hal tersebut yakni QS Yunus:99 yang artinya:
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman  semuanya."

Bagaimana menyikapi segala sesuai mengingat adanya dua kehendak tersebut? Jadi kita bisa maksimalkan terhadap apa yang berada dalam wilayah yang kita kuasai dan kita tawakkal terhadap apa yang berada di luar wilayah yang kita kuasai atau berada dalam penguasaan Allah. dari sinilah pentingnya untuk bisa menganalisa dan mengetahu mana hal-hal yang berada di dalam wilayah yang kita kuasai (WD wilayah dikuasai) dan mana yang berada dalam wilayah yang dikuasai Allah atau  menguasai kita (WM wilayah menguasai). Agar kita bisa menyikapi keduanya secara proporsional.

Baca juga: Melejitkan Potensi Diri

Contohnya: Kita bangun kesiangan itu sesuatu yang menguasai diri kita, itu adalah Qadha atau ketetapan kita. Kita kecewa, panik, dan sedih itu merupakan Qadr Allah. Keduanya berada di wilayah yang menguasai kita. Kita tidak akan dihisab atas kedua hal tersebut. Lalu bagaimana kita menyikapi bangun kesiangan tersebut. Segera berwudhu dan sholat shubuh lalu melanjutkan aktivitas pagi yang tertinggal atau ya sudah lanjut tidur, ngomel, atau bahkan bermalas-malasan? Pilihan sikap ini merupakan wilayah yang dikuasai. Kita bisa memilih dan karenanya kita akan dihisab atas pilihan sikap kita.




Berdasarkan contoh tersebut maka kiat hendaknya selalu dapat memetakan mana yang merupakan wilayah yang menguasai dan wilayah yang dikuasai. Dari sini dapat disimpulkan bahwa seharusnya kita lebih waspada terhadap perbuatan-perbuatan yang berasal dari kehendak bebasnya. Mengapa? Karena perbuatan itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Terhadap kejadian-kejadian yang menimpa kita harus kita imani bahwa itu adalah ketentuan Allah. Jika menyenangkan kita bersyukur, jika menyusahkan kita bersabar. Pada akhirnya semua harus kita kembalikan kepada Allah SWT.

Allahu'alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Komunikasi Suami Isteri

Family Fun Time With Colour to Life Faber-Castell

Mengenal Spektrum Elektromagnetik