Hidup yang (Tak) Sempurna
Kesempurnaan yang kita lihat pada kehidupan orang lain tak selalu demikian adanya. Ibarat rumput tetangga, entah mengapa selalu terlihat lebih hijau. Padahal kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik layar.
Who knows...
Katanya kita tidak boleh menghakimi apapaun atas apa yang tampak pada orang lain. Yes, it is simply because we do not know their own battle. So never judge others based on what we see, we think.
Tidak juga berarti apa yang tampak berbeda dengan realitanya. Bisa jadi memang demikian adanya, tapi kita tidak bisa pungkiri bahwa ada sisi lain dari kehidupan seseorang yang tak selalu ditayangkan kepada publik. Mungkin apa yang tampak indah dan sempurna dari kehidupan orang lain tidak lain karena mereka sangat pandai bersyukur dan menikmatinya. Sisi hidup mereka yang lain? again, who knows...
Hakikatnya kesempurnaan hanya milik yang Maha sempurna.
Kebahagiaan kiranya hanya menjadi milik mereka yang bisa menerima ketidaksempurnaan.
Tulisan kali ini bakal lebih terasa seperti curhat. Tak apa ya, sudah lama tak mengurai rasa dalam kata dan memajangnya di dunia maya. Bukankah menulis juga terapi jiwa?
Baca: Lelah Berkepanjangan dan Solusinya
Menulis hal yang nyata mungkin malah membuat kita lebih terbata dari pada merangkai fiksi. Seperti itu juga saat kita menghadapi fakta yang ia kadang tak selalu seperti yang kita minta. Lalu kita bergelut memenuhi dada dengan melihat hal yang belum tentu nyata pada tampilan orang lain. Kita kadang kemudian sibuk melihat si a, menilai si b, mau tahu tentang si c, kepo pada si d, atau bahkan "ghibah" pada y dan z.
Membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain kadang hal yang tak terelakkan. Karena kita ada di dalam pergaulan dan interaksi yang sedemikian intensif dengan oarng-orang. Lalu kita cenderung lupa bahwa yang terlihat oleh kita tak selalu demikian adanya.
Hari-hari ini ketika digitalisasi membuat kita makin mudah memandangi "indahnya" kehidupan orang lain di layar gadget. Hanya dalam genggaman kita menuai ragam "keseruan" kehidupan oarng lain yang bahkan mungkin tak kita kenal sama sekali. Hanya karena mungkin Ia selebgram dengan ribuan followers. Lalu sekali dua kali, seterusnya selalu ada alokasi waktu kita untuk mencermati hari-harinya.
atau
Mencermati status status tetangga sebelah, rekan sebelah, mantan pacar, bekas mantan pacar pasangan, mantan teman, halaah...
Entah untuk apa?
Indahnya beragam gaun, sepatu, hijab dan bahkan kosmetik yang dikenakan
Serunya perjalananan keliling dunia yang mereka ceritakan.
Nikmatnya aneka kuliner yang mereka coba.
Kompak dan hangatnya pasangan muda dan keluarga kecil mereka.
Kebahagiaan-kebahagiaan yang tampak di layar sosial media.
Cukup lah menjadi selingan saja...
Merasa ikut excited
Ikut tertawa
atau terinspirasi...
Jangan terobsesi...
Tidak jadi iri hati apalagi dengki...
Lalu memprovokasi...
Hai lihatlah...
Senyum nakal anak-anak yang selalu membuatmu kurang tidur dan harus bangun cepat untuk menyiapkan hari mereka.
Wajah hangat mereka yang bahagia meski engkau merasa demikian lelah menjaga kehangatan itu.
Keributan-keributan saat mereka berebut ini dan itu atau bahkan agak keras saling adu argumen.
Itulah hidup dan kebahagiaan milikmu...
Berjejalan dengan aneka rupa manusia dalam satu gerbong menuju tempat kerja yang mungkin sering kau keluhkan.
Peristiwa tak terduga yang setiap hari mungkin kau temui di jalanan.
Ragam warna kehidupan inilah kesempuranaan yang harus dinikmati adanya.
Baca Juga: Yes, I am 40
Terkadang kita memang perlu beranjak dari layar media sosial yang menampilkan kesempurnaan tiada henti...
Karena kadang mereka seperti candu yang membuat kita ingin mengulang melihatnya.
Keindahan
kebahagiaan itu
Sesederhana kejadian sore kemarin...
Alhamdulillah, benar adanya bahagia itu ada bahkan dalam ketidaksempurnaan. Bahagia itu karena kita membuka hati untuk memenuhinya dengan rasa syukur. Mungkin hidup yang tak sempurna itu memang milik kita. Tapi tak berarti kita tidak bisa bahagia karenanya.
Selamat berbahagia...
Menerima yang tak sempurna dengan rasa syukur.
Who knows...
Katanya kita tidak boleh menghakimi apapaun atas apa yang tampak pada orang lain. Yes, it is simply because we do not know their own battle. So never judge others based on what we see, we think.
Tidak juga berarti apa yang tampak berbeda dengan realitanya. Bisa jadi memang demikian adanya, tapi kita tidak bisa pungkiri bahwa ada sisi lain dari kehidupan seseorang yang tak selalu ditayangkan kepada publik. Mungkin apa yang tampak indah dan sempurna dari kehidupan orang lain tidak lain karena mereka sangat pandai bersyukur dan menikmatinya. Sisi hidup mereka yang lain? again, who knows...
Hakikatnya kesempurnaan hanya milik yang Maha sempurna.
Kebahagiaan kiranya hanya menjadi milik mereka yang bisa menerima ketidaksempurnaan.
Tulisan kali ini bakal lebih terasa seperti curhat. Tak apa ya, sudah lama tak mengurai rasa dalam kata dan memajangnya di dunia maya. Bukankah menulis juga terapi jiwa?
Baca: Lelah Berkepanjangan dan Solusinya
Menulis hal yang nyata mungkin malah membuat kita lebih terbata dari pada merangkai fiksi. Seperti itu juga saat kita menghadapi fakta yang ia kadang tak selalu seperti yang kita minta. Lalu kita bergelut memenuhi dada dengan melihat hal yang belum tentu nyata pada tampilan orang lain. Kita kadang kemudian sibuk melihat si a, menilai si b, mau tahu tentang si c, kepo pada si d, atau bahkan "ghibah" pada y dan z.
Membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain kadang hal yang tak terelakkan. Karena kita ada di dalam pergaulan dan interaksi yang sedemikian intensif dengan oarng-orang. Lalu kita cenderung lupa bahwa yang terlihat oleh kita tak selalu demikian adanya.
Hari-hari ini ketika digitalisasi membuat kita makin mudah memandangi "indahnya" kehidupan orang lain di layar gadget. Hanya dalam genggaman kita menuai ragam "keseruan" kehidupan oarng lain yang bahkan mungkin tak kita kenal sama sekali. Hanya karena mungkin Ia selebgram dengan ribuan followers. Lalu sekali dua kali, seterusnya selalu ada alokasi waktu kita untuk mencermati hari-harinya.
atau
Mencermati status status tetangga sebelah, rekan sebelah, mantan pacar, bekas mantan pacar pasangan, mantan teman, halaah...
Entah untuk apa?
Indahnya beragam gaun, sepatu, hijab dan bahkan kosmetik yang dikenakan
Serunya perjalananan keliling dunia yang mereka ceritakan.
Nikmatnya aneka kuliner yang mereka coba.
Kompak dan hangatnya pasangan muda dan keluarga kecil mereka.
Kebahagiaan-kebahagiaan yang tampak di layar sosial media.
Cukup lah menjadi selingan saja...
Merasa ikut excited
Ikut tertawa
atau terinspirasi...
Jangan terobsesi...
Tidak jadi iri hati apalagi dengki...
Lalu memprovokasi...
Hai lihatlah...
Senyum nakal anak-anak yang selalu membuatmu kurang tidur dan harus bangun cepat untuk menyiapkan hari mereka.
Wajah hangat mereka yang bahagia meski engkau merasa demikian lelah menjaga kehangatan itu.
Keributan-keributan saat mereka berebut ini dan itu atau bahkan agak keras saling adu argumen.
Itulah hidup dan kebahagiaan milikmu...
Berjejalan dengan aneka rupa manusia dalam satu gerbong menuju tempat kerja yang mungkin sering kau keluhkan.
Peristiwa tak terduga yang setiap hari mungkin kau temui di jalanan.
Ragam warna kehidupan inilah kesempuranaan yang harus dinikmati adanya.
Baca Juga: Yes, I am 40
Terkadang kita memang perlu beranjak dari layar media sosial yang menampilkan kesempurnaan tiada henti...
Karena kadang mereka seperti candu yang membuat kita ingin mengulang melihatnya.
Keindahan
kebahagiaan itu
Sesederhana kejadian sore kemarin...
Dua hp yang saya punya dua-duanya ternyata habis kuota dan pulsanya. Kalau yang satu memang saya tahu sudah tidak ada kuota dan pulsa. Sedang diistirahatkan dulu karena sampai di rumah jadi mainan krucils mulu... Kalau alasan tidak ada kuota mereka paling cemberut lalu ya sudah gimana lagi.
Hp yang satu lagi, saya baru beli kuota untuk satu minggu karena sisa pulsa saat itu hanya cukup untuk membeli kuota mingguan. Ternyata baru dua hari kuota sudah menipis dan saya tidak sadar bahwa percakapan via wa setelah sebelumnya mengirimkan buntri transfer ke suami yang tengah di luar kantor mengurus sesuatu adalah kuota terakhir. Posisi saya saat itu di tengah gerbong KRL menuju Sudimara.
Hmm saya masih coba buka wa dan IG. pesan tidak sampai dan Ig tidak juga loading. Saya pikir gangguan sinyal karena dalam KRL.
Turun dari kereta bergegas saya memesan ojek online beberapa kali gagal dan diminta mengecek settingan jaringan.
Setelah beberapa kali gagal saya baru sadar.
Ups jangan-jangan kuota saya habis.
Langsung buka aplikasi My Telkomsel dan langsung lemas karena kuota nol bahkan rupanya percakapan via wa terakhir tadi menggunakan pulsa bukan kuota karena tak ada sisa pulsa di sana.
Sore makin menggelap..sisa hujan dan tanah yang basah membuat saya makin resah. Ingat anak-anak di rumah. Tadi pagi nasi yang mereka makan untuk sarapan dan saya masukkan ke dalam bekal mereka adalah nasi terakhir. Saya belum sempat memasak nasi lagi karena harus merendam dulu rice cookernya sebelum bisa dibersihkan sementara jam sudah menunjukan angka rawan. Memang pagi itu saya terlambat.
Kalau saya terlambat sampai rumah, anak-anak makan terlambat. Kasian bla bla blaa...
Saya langsung balik arah dari pangkalan ojek online dan naik angkot yang kebetulan lewat.
Qadarullah... sepanjang jalan macet luar biasa.
Well sedih banget, perut lapar saya jadi makin mual dan memang bagian bawah perut agak sakit karena hari pertama menstruasi, kepala pun pening satu paket. Saya isi waktu dengan membaca al matsurat petang dari gadget. Mencoba melupakan kenyataan bahwa angkot ini bergerak demikian lambat.
Adzan Margrib berkumandang, saparuh perjalananpun saya belum tempuh.
Pikiran tentang anak-anak mengalahkan rasa tidak nyaman dan lelahnya tubuh.
Saya coba meraba dompet saya. Hmm tampaknya masih ada uang cukup. Iya saya (atau bahkan kita semua) jarang menyimpan uang cash lagi di dompet bukan? Cukup untuk membeli pulsa yang cukup untuk membeli kuota. Saya memutuskan turun di tengah kemacetan saat saya lihat ada toko ponsel yang juga menjual pulsa.
Pas turun justru di sebelah toko ponsel, langganan bubur ayam. Tanpa pikir panjang memesan dua porsi bubur ayam lalu segera menuju toko sebelah. Membeli pulsa bahkan harus dua kali. Haha bodohnya. Beli 100 ribu ternyata paket kuota yang biasa saya beli harganya 102 ribu. Akhirnya beli lagi 10 ribu. Segera beli paket kuota dan memesan ojek online. Mengambil pesanan bubur lalu menghubungi ojek yang terhadang macet.
Ahh akhirnya...
Perjalanan sampai rumah tidak semulus yang diharapkan. Sepanjang jalan memang macet terutana di pertigaan atau perempatan jalan. Terlebih rupanya hujan besar disertai angin baru saja reda.
Entah kenapa meski cukup ramah abang ojol kurang enak bawa motornya. saya menahan mual karena caranya membawa motor yang grasak grusuk di tengah kepadatan jalan.
Mengucapkan salam dan melihat anak-anak baik-baik saja rasanya legaa sekali.
Bahagia karena kemudian bisa menikmati dua porsi bubur berempat dengan mereka sambil bercerita dengan kisah hari ini versi Trio Krucils. Bahagia juga karena bisa menceritakan kisah tak terduga sore ini yang beakhir bahagia dengan menikmati bubur ayam hangat.
Ibu dan Dek Paksi geng bubur diaduk. Ka Zaha dan Ka Alinga geng bubur tidak diaduk.
Alhamdulillah, benar adanya bahagia itu ada bahkan dalam ketidaksempurnaan. Bahagia itu karena kita membuka hati untuk memenuhinya dengan rasa syukur. Mungkin hidup yang tak sempurna itu memang milik kita. Tapi tak berarti kita tidak bisa bahagia karenanya.
Selamat berbahagia...
Menerima yang tak sempurna dengan rasa syukur.
Komentar
Posting Komentar