Menikmati Yogya Kurang dari 24 Jam




Menikmati Yogyakarta kurang dari 24 jam. Bisa? alhamdulillah kejadian banget akhir tahun lalu. Ini sebetulnya bukan full jalan-jalan. Jadi saya ke Yogyakarta bareng keluarga besar pengurus, pengawas, dan pengelola Koperasi di kantor nih. Acaranya 2 hari 1 malam. Berangkat Jumat malam kembali Minggu siang. Iya satu malam dihabiskan di perjalanan dengan kereta. Pulangnya dijadwalkan naik pesawat.

Jadwalnya full pake banget tuh. Selain outbond untuk menjalin kekompakan antar karyawan juga diisi dengan studi banding ke salah satu Koperasi Syariah di Yogyakarta. Karena saya harus menyiapkan anak-anak yang sedang musim ulangan saya minta izin pulang duluan. Jadi saya gak sampai 24 jam menjejak kaki di Yogyakarta. Trus masih bisa menikmati Yogya dengan waktu yang demikian sempit?

Yuk sini saya ceritain!

Berangkat dari Jakarta (tepatnya dari kantor) sore seusai jam kantor. Naah kalau saya karena status sedang dinas luar jadilah saya berangkat dari rumah. Pas banget anak-anak baru pulang sekolah saya harus bersiap-siap berangkat. Meski sudah dikasih tahu dari beberapa hari sebelumnya kalau saya mau pergi, drama tetap berlangsung dung. Tetiba Dek Paksi minta ditemani belajar untuk ulangan hari Senin. Ada 2 mata pelajaran pula. Di luar rumah hujan deras mengguyur Ciputat.

Saya awalnya berencana naik ojol ke Stasiun Sudimara, dan ber-commuter line ria sampai Tanah Abang, trus lanjut naik Bajaj ke Stasiun Senen. Ini jalur paling aman sih, *baca mengakali kemacetan sepanjang jalan. Naah karena hujan tak kunjung reda, mau tak mau saya harus mengubah strategi. Mau naik taksi online aja dari rumah langsung ke staisun Senen. Eh tapi macetnya bikin khawatir, gak bakalan sampe ke sana tepat waktu kayaknya. Waktu sudah merambat ke pukul 15.30 WIB, hujan deras dengan petir bersahutan, dan si ganteng yang nangis sesungukan ngambek gak mau ditinggal Ibunya sambil buka buku tematik dan religionnya. Duuh ngenes hati Ibumu sayang.

Baca Juga: Di balik Dilema Dinas Luar

Terpaksa akhirnya saya tetap berangkat setelah Kakak-kakannya Paksi bilang: "udah Ibu berangkat aja nanti ketinggalan kereta, Ibu pesan aja gocarnya." Kupikir karena hujan besar mungkin bakalan lama dapat taksi online. Eh ternyata langsung dapat, rupanya babangnya anak kuliahan yang sedang ngejar bintang eh bonus. Akhirnya meski tanpa restu Dek Paksi saya berangkat. Bukan Stasiun Sudimara tapi Stasiun Jurangmangu. Supaya lebih mudah aja saya turun dari mobil ke peron stasiun.

Alhamdulillah lancar sampai ke Tanah Abang, eh kok perut udah lapar aja yaa. Sayangnya gak ada resto makanan berat di Stasiun Tanah Abang, mumpung hujan tidak terlalu lebat saya langsung keluar dan menyetop bajaj. Alhamdulillah sampai ke Stasiun Senin sekitar pukul 17.00 lebih. Langsung cari tempat makan yang agak berat sambil menikmati teh panas dan baca novel. Nasi Bebek bawang akhirnya mengisi perut yang terasa lapar. Kereta yang akan saya naiki adalalah Senja Utama berangkat dari Stasiun Senin pukul 19.00 wib.


Perjalanan terasa cukup panjang karena ternyata kereta yang kami naiki kereta ekonomi. Lumayan sih bisa tidur meski tak sepanjang jalan. Kami tiba di stasiun Tugu dini hari menjelang subuh. Bus dari penyelenggara tour sudah menunggu. Kami langsung diarahkan sholat subuh ke Masjid Asy-Syuhada, salah satu masjid yang cukup tua dan bersejarah di Yogya. Perjalanan dilanjut ke Pantai Gua Cemara.

Bermain pasir dan air di Pantai Goa Cemara di daeah Bantul ini bukan yang pertama buat saya. Hmmm kalau tidak salah ini kali ketiga saya ke sini. Yang terasa berbeda adalah karena kemarin saya menjejak di sana di pagi hari. Udara sedemikian sejuknya. Suasana pantai juga masih basah. Di ujung garis langit, semburat jingga masih tersisa.

Yang membuat saya menikmati perjalanan tersebut karena sepanjang jalan menuju pantai menyajikan pemandangan khas pedesaan yang demikian tenang dan nyaman. Yang berbeda di sepanjang jalan saat ini banyak taman-taman bunga yang dibuat sedemikain rupa menjadi spot-spot berphoto instagramable. Aneka ragam bunga terutama bunga matahari/sunflower yang cerah dan cantik bisa kita temui sepanjang jalan menuju pantai.

Baca Juga: Menikmati Yogya di Ketinggian

Selepas bermain pasir dan air laut di pantai, kami kembali ke kota dan mengunjungi salah satu Koperasi Syariah yang cukup maju di sana. Saya pribadi mencatat banyak hal. Salah satu yang sangat membekas adalah bahwa ketika kita berniat hijrah untuk sepenuhnya menggunakan cara-cara syarí seperti yang Allah kehendaki, maka kita harus total dan untung rugi tak melulu dihitung dari angka-angka karena nilai keberkahan kadang tidak masuk pada logika matematika. Hijah kepada sistem syariah bukan cuma dari sisi perangkat lunak maupun keras tapi dari sisi mental dan spiritual sumber daya manusianya ya juga. Ini yang masih jadi PR besar bagi kami yang berniat membuka unit usaha syariah di koperasi kami.

Seusai diskusi yang bernas di Koperasi Syariah kami melanjutkan perjalanan ke Gua Pindul. Selain cave tubing yang ternyata tidak semenegangkan yang saya bayangkan. Kami lanjut menikmati river tubing di Kali Oya. Kenapa tidak menegangkan karena kondisi saat itu air di dalam Gua Pindul maupun di Kali Oya sedang surut, sehingga aliran air tidak deras. Well, kurang menantang memang tapi rasanya gak deg-degan banget. Santai gak takut terbawa arus. Saking santainya, banyak yang tertidur di atas ban yang mengapung di sepanjang Kali Oya yang dihiasi bebatuan di kanan kiri kali.



Kami melewati air terjun yang kabarnya pernah menjadi lokasi syuting salah satu film horor lokal. Entah benar atau hanya sekedar becanda, air terjun pengantin katanya.



Sesampai di ujung perjalanan, gorengan yang hangat dan teh panas menanti. Waaah cukup untuk mengaliri pencernaan yang mulai ikut kedinginan karena lama bermain air. Kami kembali ke spot awal dan bersih-bersih dilanjut dengan makan siang yang kesorean. Nasi merah dan lauk pauk khas Gunung Kidul.

Untuk teman-teman yang akan stay dan kembali esok hari acara selanjutnya adalah ke Hutan Pinus dan Bukit Bintang untuk menyaksikan Yogyakarta di malam hari dari ketinggian.

Saya sendiri harus kembali ke kota karena akan kembali ke Jakarta dengan kereta malam.

Dalam perjalanan menuju Stasiun Tugu, kami berhenti sejenak untuk berphoto di spot photo yang instagramable dan sempat viral gegara oknum warga netizen yang "menghancurkan" taman bunga amarylis di sekitar daerah Wonosari - Gunung Kidul. Tampaknya masyarakat sekitar dengan inisiatif dan antusiasme mengembangkan bunga amarylis di sekitar pekarangan rumah mereka dan kemudian berkembang menjadi spot-spot yang ditata sedemikian sehingga sangat cantik dan menarik untuk berswaphoto. Untuk masuk ke area taman bunga amarylis dan berphoto bebas di area tersebut hanya dikenai biaya sekitar 5000-15.000 per orang.



Puas berphoto kami segera melaju ke Kota.

Rekan saya antusias ingin membeli oleh-oleh kopi luwak. Kami dibantu oleh driver yang sekaligus berperan sebagai guide membantu kami mencari kopi yang dimaksud. Setelah agak berputar-putar akhirnya kami tiba di Jalan Palemwulung, Kopi Luwak Mataram demikian nama Coffee Resto dengan nuansa tradisional yang kental ini. Tak seperti coffee shop kekinian. Suasananya sangat berbeda, natural, khas, dan tradisional.  Kita bahkan bisa melihat langsung beberapa ekor luwak di dalam kandang. Kita juga bisa melihat biji-biji kopi dibersihkan dan dikeringkan di atas tampah-tampah besar.

Hewan yang menghasilkan kopi yang ternyata harganya cukup "amazing" namun cukup digilai oleh para pecinta kopi. Luwak merupakan hewan menyusu (mamalia) yang termasuk suku musang dan garangan (Viverridae) dengan nama ilmiah Paradoxurus hermaphroditus. Kopi Luwak merupakan seduhan kopi menggunakan biji kopi yang diambil dari sisa kotoran luwak ini diyakini memiliki rasa yang berbeda setelah dimakan dan melewati saluran pencernaan luwak.

Kopi luwak telah masyhur di kawasan Asia Tenggara telah lama diketahui, namun baru menjadi terkenal luas di peminat kopi gourmet setelah publikasi pada tahun 1980-an. Biji kopi luwak adalah yang termahal di dunia, mencapai USD100 per 450 gram.




Saya bukan coffee person, bukan karena tak suka tapi karena asam lambung saya biasanya langsung naik saat meminum kopi. Tapi aroma kopi merupakan aroma yang sangat relaxing buat saya. Saya bahkan menyimpan biji kopi di rumah untuk sekedar mencium aromanya. Rasa penasaran membuat saya mencoba secangkir kecil kopi (yang harganya cukup mihil).

Meski tidak terlalu paham kenapa teman saya bilang rasanya luar biasa namun cara meminumnya yang unik cukup membuat saya excited. Jadi kopi panas tersebut dinikmati dengan sepotong gula merah. Gigit dulu gula merah simpan dalam mulut lalu masukkan kopi ke dalam mulut. Well yang siginifkan buat saya adalah lambung tidak bereaksi ekstrim seperti biasanya saat saya meminum kopi.

Baca juga: Kuliner Yogya yang Unik dan tidak Mainstream

Seusai icip kopi luwak, ternyata masih ada waktu cukup luang sebelum jadwal keberangkatan kereta kembali ke Jakarta. Naah saya yang sejak di Jakarta "ngidam" wedang uwuh namun toko-toko yang menjual wedang uwuh sudah tutup. Kami akhirnya memutuskan mencari makanan hangat, apalagi kalau bukan Bakmi Jowo. Kami sepakat ke Mbah Gito.




Saya pastinya memilih Bakmi Jowo kuah dengan irisan ayam kampung dan kuahnya yang khas. Potongan cabe rawit jangan lupa ya. Alhamdulillah saya akhirnya bisa menyesap hangat wangi khas wedang uwuh di Mbah Gito. Tidak lupa memesan beberapa bungkus untuk bisa diseduh di Jakarta. Tidak bisa banyak karena memang semua bahans egar dan tentu hanya tahan beberapa hari di simpan di kulkas.

Lunas sudah perjalanan malam itu, menikmati Yogya dalam waktu kurang dari 24 jam ternyata bisa lhoo. Yogya memang selalu menawarkan momen khas yang selalu tersimpan di hati meski tidak lebih dari sehari semalam. Kereta malam yang membawa saya kembali ke Jakarta tempat saya sejenak merebahkan raga melaju menembus malam.

Selamat tinggal Yogya, kota yang selalu menyisakan kenangan dan mengajak tuk kembali lagi dan lagi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Komunikasi Suami Isteri

Family Fun Time With Colour to Life Faber-Castell

Mengenal Spektrum Elektromagnetik