Sunat/Khitan dengan Metode Smart Klamp, Alhamdulillah Paksi sudah Besar.
PR memiliki anak laki-laki yang membuat Ibunya deg-degan adalah soal Khitan atau Sunat. Waktu usia 6 tahun, Dek Paksi bertekad, *Jiyaaa bertekad* merampungkan beberapa hal sebelum usianya menginjak angka 7. Kebetulan waktu itu direkam dan videonya lalu diposting di FB. Jadilah pada tahun berikutnya, FB mengingatkan dan memunculkannya di timeline FB Ibu. Naah salah satu yang belum terwujud adalah disunat.
Kebiasaan di keluarga saya, anak-anak laki-laki dikhitan bahkan sejak mereka kecil. Nah kakak-kakak sepupu Paksi juga dulu kebanyakan di khitan saat mereka masih kecil di usia 4-5 tahun. Saya jujur belum siap mengkhitan Paksi di usia tersebut. Gak kebayang gimana mengurus dia sementara saya sendiri juga sejujurnya "ngeri-ngeri syedap" menghadapi kenyataan harus melihat Dek Paksi menjalaninya.
Dek Paksi punya masalah yang khas. Masalah psikologis yang menurut saya bisa jadi merupakan efek jangka panjang yang apa yang pernah dialaminya pada saat newborn baby dulu. Sesuatu yang kami sadari untuk kelak kami harus tangani dengan serius.
Dek Paksi sering tampak labil dan bisa mengubah keputusan atau cara pandangnya terhadap sesuatu dalam hitungan detik hanya karena tiba-tiba dihinggapi rasa takut. Rasa takut yang sebagian besar malah tidak masuk akal. Bukan sekali dua kali saya mendapati hal ini. Kalau kita (saya, ayahnya, dan Paksi sendiri) menyerah pada rasa takut yang berlebihan itu biasanya berujung pada kegagalan. Jadi dibutuhkan kesabaran luar biasa untuk meyakinkan Paksi bahwa rasa takut harus dihadapi dan dikalahkan. Untuk saat ini rasa takut yang tampak sangat mengganggunya adalah takut akan rasa sakit.
You know what?it is not easy at all...
But sometimes I found miracle happened.
this little boy then got a "sign - hidayah" then smoothly change his mind.
Last minutes when we started to give up.
Baca cerita tentang perawatan Dek Paksi saat kulitnya terbakar akibat racun Tomcat
Motivasi
Kalau ada yang tanya, apa yang harus dilakukan untuk persiapan khitan maka buat saya yang paling penting adalah persiapan mental. Mental si anak dan mental orang tuanya. Terutama Ibunya. Selain karena nadzarnya sendiri yang pingin khitan di usia 6 tahun. Motivasi juga muncul dari banyaknya pertanyaan yang sering diterima dek Paksi. "Kapan disunat?", Macam pertanyaan "kapan kawin" yang harus diterima para Jomblo laaah. Naah mungkin lama-lama jadi mikir nih Dek Paksi.
Salah satu motivasi kuat Dek Paksi juga karena teman dekatnya di TK B, Zuhair dan Reza yang kebetulan lebih muda usia dan lebih mungil perawakannya dari Dek Paksi juga sudah disunat saat masih TK. Kebetulan lagi sekarang Paksi satu kelas lagi dengan Zuhair di SD. Nah makin kuat deh motivasinya untuk sunat di tahun ini.
Intinya, semua harus maunya sendiri. Tugas kita memberikan pandangan dan siap, kapanpun si kecil siap kan?
Beberapa waktu belakangan di musim liburan panjang. Banyak saudara dan teman yang di khitan. Kami juga datang ke khitanan tersebut. Saat itu pula saya gunakan sebagai motivasi buat Dek Paksi. "Tuh dek, tanya kakak atau abangnya, sakit gak?"
Jawabannya bervariasi.
"Enggak...sambil geleng."
"Sakit sedikit, nanti juga gak sakit lagi"
Dek Paksi bisa melihat sendiri bahwa kalau sudah disunat ya sudah, everything will be OK, just like his ordinary day and activities.
Menjelang liburan panjang sekolah semakin mendekati akhirnya, belum ada kepastian apapun. Saat kami pulang kampung ke Cirebon, saya sempat menawarkan padanya. "Dek Paksi mau di sunat di sini aja? Enak kalau di sini mah ramai. Banyak saudara dan teman-teman. Jadi kalaupun gak dirayakan tetap bakal ramai. Beda sama di Ciputat sana."
Mide (nenek) bahkan merayu: "Ayo disunat di sini aja nanti Mide potongin Ayam Bakakak." "Kalau mau diramein pake kuda ronggeng keliling kampung juga boleh".
Bukannya tertarik Dek Paksi malah ogah. "Gak mau, aku gak mau ada banyak orang. Aku mau di Ciputat aja, sama Ibu aja."
Kembali dari liburan di kampung waktunya masuk sekolah sebagai murid baru sudah semakin dekat. Hitungan jari istilahnya. Namun belum ada riak gelombang ke arah yang lebih pasti kapan jagoan kami siap dikhitan. Bapaknya juga gaje, adem ayem gitu. Ibunya deh yang mulai resah. Menurut perhitungan Ibu, sekarang-sekarang (seharusnya sejak awal liburan panjang kemarin) merupakan waktu yang pas untuk Paksi Khitan. Jadi masuk sekolah jadi murid baru di SD, selain status baru sebagai anak SD juga status baru "just circumcised". "Sudah di Khitan".
Kalau tidak sekarang kapan lagi Nak? Menunggu tahun depan nanti psikologis kamu udah beda lagi sayang.
Alhamdulillah akhirnya hanya seminggu sebelum masuk sekolah, He said YES.
Kami yang sejak awal bingung memilih metode apa untuk sunat Dek Paksi makin bingung. *Haiaahhh...
Kami sudah membaca informasi seputar berbagai metode sunat. Kami juga bertanya (langsung dan tidak langsung) pada teman dan saudara yang sudah melakukan proses khitan untuk anaknya. Dari segi metode mengerucut pada dua metode khitan. Metode konvensional dijahit seperti biasa dan metode Smartklamp.
Baca juga: Agar si Kecil Berani Tampil di Depan
Drama: Ketakutan Berlebihan.
Sabtu yang cerah, Dek Paksi tampak santai mengenakan baju biasa ditemani Ka Alinga dan Ka Zaha yang tidak kalah excited. Kami berangkat ke rumah khitan/sunat yang dituju setelah sebelumnya Ayahnya melakukan appointment lewat telpon. Letaknya tidak jauh dari rumah kami. Mungkin tidak sampai 1 km. Tidak jauh dari perempatan Gaplek Pondok Cabe ke arah Pamulang, Jln Setia Budi. Pusat Khitan Berbagai Usia, Sunat Modern.
Pusat Khitan ini berada di deretan Ruko di Pamulang Timur. Saat masuk, di bagian depan ada playground untuk anak-anak. Suasana siang itu cukup ramai. Beberapa anak bermain di playground dengan kolam bola aneka warna. Beberapa pasang orang tua tengah mengantri, beberapa berwajah cemas seperti saya. Hahaha.
Suami memastikan pendaftaran. Rupanya yang datang hari itu akan dilayani sesuai urutan kedatangan. Wah kami datang telat rupanya. Rasanya kami akan menjadi pasien terakhir. Saya duduk sambil bercengkrama dengan Ibu-ibu lain. Paksi masih asyik bermain di kolam bola dan main perosotan. Dua kakaknya tampak asyik berdua mengamati IG dari ponsel saya. Satu persatu pasien selesai dan dipanggil yang berikutnya. Untuk proses khitan dilakukan di lantai atas ada 2 kamar operasi.
Expresi dan wajah anak yang usai disunat juga macam-macam, ada yang pucat dan tegang tapi tidak sedikit yang cuek. Ada yang mengenakan sarung namun ada pula yang tetap mengenakan celana biasa. Saya meminta Ayahnya untuk mengambilkan sarung, incase Dek Paksi gak mau menggunakan celananya kelak. Untung bisa menelpon adik yang kemudian mengantarkan sarung yang diminta.
Selain yang baru saja dan akan disunat, ada juga pasien yang datang untuk kontrol dan melepaskan alat klamp. Bahkan ada yang kembali lagi melihat klinik cukup ramai. Maklum hari Sabtu dan minggu terakhir sebelum masuk sekolah.
Sampai kemudian namanya dipanggil dan harus naik ke lantai atas. Dek Paksi tampak masih tenang dan gagah berani.
Kejadiannya berubah 180 derajat saat masuk ke ruang operasi. Mendadak Ia menolak untuk masuk dan naik ke ranjang operasi. Dimulailah drama itu. Meyakinkan dia bahwa disuntik anastesi itu tidak sakit hanya seperti digigit semut atau sakit sedikit saja, luar biasa sulit. Paksi kekeuh meronta dan menolak untuk disuntik. Saya sudah melakukan berbagai cara mulai dari mengalihkan perhatiannya sampai dengan merayu. Mulai dari cara halus sampai agak keras karena memang masih ada antrian dari sang dokter yang harus ditangani di ruang sebelah.
Drama yang luar biasa menguras "emosi". Akhirnya Paksi berhasil disuntik anastesi. Proses selanjutnya bukan semakin mudah namun semakin sulit.
"Iya nanti bu... nanti...aku mau ambil nafas dulu."
"Nanti bu tunggu, 10 menit lagi"
Padahal sudah lebih dari 10 menit kami menunggu.
Masalahnya anastesi ini tentu punya batas waktu. Jika terlalu lama maka pengaruh obat biusnya bisa hilang.
Dokter dan pendampingnya kemudian keluar dan membiarkan kami menyelesaikan masalah kami. Bahkan saya hampir menyerah. Saya bahkan sampai menangis. Jujur saya menangis karena sedih dan bingung bagaimana meyakinkan Paksi untuk berani melawan rasa takutnya. Bahwa kalaupun sakit itu hanya sebentar dan nanti akan sembuh. Bahwa dengan bantuan anastesi rasa sakit itu tidak akan terasa.
"Ya sudah kalau memang belum mau atau belum berani, jangan dipaksa."
Well, saya sama sekali gak merasa memaksa Paksi. Bahkan detik terakhir sebelum dia masuk ke kamar dia masih tampak berani. Akhirnya ayahnya menyerah dan turun, menyampaikan kalau tampaknya batal.
Saya yang sudah merasa gak karuan, mengajak Paksi turun.
"Ayo dek kita gak jadi aja sunatnya."
"Lain kali aja, kalau adek sudah berani. Kita pulang aja."
Anehnya meski gak mau tapi Dek Paksi kekeuh gak mau pulang. Ia meminta saya menunggu.
"Sabar bu....aku mikir dulu!"
Mungkin maksudnya Ia mau mengumpulkan keberaniannya lagi.
"Iya Ibu bisa menunggu, tapi efek biusnya gak bisa menunggu dek. Kalau lama-lama biusnya gak bekerja lagi. Adek mau disuntik lagi? tadi aja drama banget."
Jujur saya sudah lemas sekali saat itu. Tegang dan gak puguh rarasaan. Karena Dek Paksi tidak mau sama yang lain. Maunya dipegang saya tapi dia meronta-ronta sedangkan saya tidak kuat kalau gak dibantu Ayahnya. Ia bahkan marah-marah sama Ayahnya.
Pada intinya saya melihat ketakutannya terlalu berlebihan dan saya gak bisa juga menyalahkan dia.
Sesaat kemudian dia bilang dia mau dan siap.
"Bener dek?"
Akhirnya saya panggil Ayahnya di bawah. Ayahnya memastikan: "benar mau?"
"Tapi aku gak mau dipegang Ayah kencang-kencang..."
"Ya gak bisa kalau gak dipegang Ayah, posisi kaki kamu gak mau terbuka dan santai"
Memang karena ketakutan dan menolak, refleks kakinya selalu ingin ke posisi tertutup. Ini kesulitan utamanya. Ayahnya bahkan harus menahan kedua kakinya tersebut. Kami sebetulnya juga tidak tega. tapi gimana lagi, sudah bingung karena nanggung. *hiks
Meski sudah berjanji akan kooperatif, nyatanya saat dokter dan pendampingnya masuk ke ruangan dan akan segera eksekusi Paksi kembali menunjukkan ketakutannya. Tubuhnya terutama kakinya langsung mengencang dan mengambil posisi menutup. Ayahnya terpaksa menahan kakinya. Dalam keterbatasan kemudian dokter segera melakukan tugas.
Saya mendekap Paksi dan terus mencoba mengalihkan perhatiannya. Sayangnya dia sangat sadar tengah dialihkan perhatiannya.
"Ibu jangan ngajak ngomong aku, aku gak mau... "
Ini yang selalu membuat saya terkaget-kaget, dalam kondisi takut atau terdesak, dia masih bisa berpikir sangat logis. Sulit dipengaruhi, bahkan cenderung lebih waspada.
Padahal tentu saja sudah tidak ada rasa sakit yang dirasakan karena memang obat bius sudah bekerja. Tapi Paksi kekeuh bilang sakit dan gak mau. Pekerjaan otaknya dipengaruhi oleh rasa takutnya yang berlebihan.
Baca Juga: Tips Working Mom Jaga Kehangatan Keluarga
Proses Khitan dengan Smartklamp
Dalam kebingungan awalnya kami hendak memilih metode konvensional saja. Kekhawatiran tentang metode smartklamp justru pada proses perawatan setelah proses khitan yang kabarnya lebih lama. Selain itu adanya kasus kulit penis pada bagian ujung yang dipotong tidak menempel sempurna sehingga ada yang harus dijahit. Ada juga kasus di mana pelepasan alat klamp tidak bisa dilakukan dengan lancar karena alat masih lengket.
Kami pikir metode konvensional toh sudah terbukti puluhan tahun. Proses penyembuhan juga lebih cepat. Meskipun saya jujur lebih ngeri dan ngilu membayang metode konvensional ini.
Apa boleh buat mengingat kehebohan Paksi bahkan saat baru hendak disuntik anastesi membuat kami berpikir ulang. Apalagi kalau menggunakan metode konvensional di mana setelah kulit ujung penisnya dipotong harus dilakukan penjahitan. Proses yang pasti tidak berlangsung cepat. Belum lagi darah dan seterusnya. Saya sudah lemas duluan.
Dalam waktu sekejap kami langsung menyetujui untuk menggunakan metode Smartklamp yang ternyata jauh lebih cepat dan mudah. Teknik klamp memang meminimalisir pendarahan, tidak ada jahitan sama sekali.
Sumber: sunatmodern.com |
Jadi setelah suntik anastesi, kulit ujung penis dipotong lalu dipasang alat klamp. Alat ini berfungsi menahan ujung kulit yang dipotong agar menempel di batang penis dan tidak terjadi pendarahan. Seperti dijepit. Alatnya didesain melindungi ujung penis yang juga sedang sangat sensitif setelah proses pemotongan ujung kulitnya. Ujung penis terlindungi dari gesekan atau sentuhan baik anggota badan maupun celana. Umumnya setelah dipasang alat klamp, anak-anak sudah bisa langsung mengenakan kembali celana mereka.
Alhamdulillah prosesnya cepat dan praktis sehingga drama Paksi segera usai.
Kami sempat menggoda Paksi bahwa gara-gara teriakannya semua calon pasien yang hendak disunat kabur. Saat kami selesai memang sudah tidak ada pasien. Paksi pasien terakhir, karena lamanya menunggu Ia tenang dan mau dieksekusi :D.
Paksi tetap mau menggunakan celananya seusai dikhitan. Mengingat obat bius masih bekerja Ia tidak merasakan sakit, ngilu, atau sejenisnya. Kami kemudian pulang dengan terlebih dahulu mampir ke toko manian untuk membeli mainan sang jagoan yang sudah dikhitan. Saya masih memikirkan bagaimana nanti proses perawatan pasca khitan, pasti akan ada drama selanjutnya.
Perawatan Pasca Khitan
Sebetulnya proses perawatan pasca khitan dengan metode ini sangat sederhana. Anak yang selesai dikhitan bahkan bisa mandi seperti biasa, pipis seperti biasa. Perawatan khusus hanyalah rutinitas meneteskan minyak oles sebanyak 3 kali di area penis yang dipotong. Minyak ini diberi oleh pihak klinik. Saya menduga mungkin minyak kelapa atau minyak pelumas. Tujuannya agar luka segera kering dan kulit tidak menempel di alat klamp.
Sederhana namun tetap jadi drama buat Dek Paksi. Butuh kesabaran luar biasa untuk meyakinkan dia untuk pipis seperti biasa dan mandi seperti biasa. Demikian juga saat harus ditetes dengan minyak oles. Saya bahkan sampai khawatir karena Paksi sangat takut saat harus pipis. Ia seperti menahan pipis. Sebetulnya hanya perih di awal pipis atau ngilu saja tapi penyikapannya sangat berlebihan sehingga Ia tampak tegang setiap kali hendak pipis. Air pipisnya pun tidak lancar. Saya sampai khawatir Ia akan anyang-anyangan.
Alhamdulillha drama berakhir di hari kedua. Hari berikutnya Paksi sudah lebih santai. Selain itu untuk obat yang harus diminum, Paksi juga cukup kooperatif. Ada obat antibiotik dan anti nyeri yang harus diminumnya selama beberapa hari.
Baca Juga: Kenali Tanda Anak bahagia: Sehat, Ceria, dan Aktif
Perawatan setelah Pelepasan Klamp
Lima hari kemudian jadwal untuk melepas Klamp. Sebelum berangkat ke klinik, Paksi harus berendam cukup lama di air hangat. Tujuannya agar proses pelepasan berjalan lancar. Dia masih mau menuruti untuk berendam di air hangat dan semangat datang ke Klinik.
Jujur saya belum lega sampai semua selesai. Benar saja, drama terulang lagi saat proses pelepasan Klamp. Kebetulan yang melepas ini juga masih anak muda sehingga tampak tidak sabar dengan drama Paksi. Meski mencoba disabar-sabarkan dan memberikan penjelasan panjang lebar, namun Paksi tetap menolak dieksekusi. Kakinya tidak mau terbuka dan menyulitkan petugas yang akan melepas alat Klamp.
Kebetulan waktu itu Paksi juga ada di urutan terakhir antrian. Kami kembali jadi pengunjung terakhir di Klinik tersebut karena meyakinkan Paksi kembali membutuhkan waktu tidak sebentar.
"Duuh Ibu lelah Naak.
Untung cuma satu kali kamu dikhitan Nak. Fyuuuh..."
Setelah negosiasi alot dan proses yang kembali agak memaksa. Akhirnya Klamp berhasil dilepas. Saat petugas hendak memberi contoh perawatan pasca Klamp terlepas, Paksi kembali heboh. Ia bahkan tak mau disentuh.
Sebetulnya perawatannya juga sederhana. Anak sudah bisa mandi dan buang air kecil seperti biasa
Bekas luka di ujung penisnya dibersihkan tiga kali sehari. Yang harus dilakukan dengan rutin juga mengompres area luka dengan kain kasa yang dibasahi revanol 10-15 menit 3 kali dalam sehari. Kompres ini untuk memastikan luka kering dengan baik, kotoran dan sisa luka yang ada bisa copot atau lepas dengan sendirinya.
Drama juga terjadi saat proses perawatan ini. Paksi bahkan tidak mengizikan kami menyentuh penisnya. Padahal pembersihan dan perawatan wajib dilakukan agar luka segera pulih. Ia mau melakukan sendiri namun nyatanya tidak menyentuh area yang seharusnya.
Duuh Nak!
Butuh waktu memang meyakinkannya. Esok harinya sepulang kerja Ia menunjukkan kalau Ia bisa merawat sendiri lukanya. Saya hanya membantunya melipat kain kasa dan membasahinya dengan revanol. Lalu Ia sendiri yang akan mengompres ujung penisnya.
Alhamdulillah tidak ada masalah dalam proses khitan dan perawatannya selain masalah psikologis Paksi. Luka sembuh pada waktunya dan tidak ada komplikasi apapun.
Saat masuk sekolah hari pertama rutinitas mengompres penis masih berlangsung. Saya hanya berpesan pada gurunya agar Paksi diingatkan untuk tidak berkegiatan berlebihan mengingat baru 3 hari sebelumnya melepas Klampnya.
Sekolah, keceriaan bertemu teman baru, suasana baru rupanya menjadi obat mujarab sehingga Ia tampak melupakan soal khitan dan segala dramanya. Motivasi untuk sembuh juga muncul karena bertemu dan satu kelas kembali dengan Zuhair. Paksi bangga karena Ia pun sudah dikhitan, sama seperti Zuhair.
"Zuhair kamu waktu disunat pakai apa?"
"Pakai laser..."
"Kalau kamu."
"Aku pakai Klamp?"
"Sekarang kalau pipis bareng-bareng aku gak malu lagi, soalnya udah sama kaya Zuhair."
Duuh kocak juga kamu Nak!
Komentar
Posting Komentar