(Ternyata) Ada "Calo" Hajar Aswad


Salah satu pengalaman yang tidak mungkin saya lupakan dari ibadah umroh akhir tahun lalu adalah peristiwa tak terduga tentang bagaimana akhirnya saya bisa (alhamdulillah) mencium Hajar Aswad. Siapakah orangnya yang berhaji atau berumroh dan tidak ingin bisa mencium batu hitam ini? Rasanya tak ada. Semua memimpikan bisa mencium batu yang diyakini berasal dari syurga tersebut.



Hukum mencium hajar Aswad saat thawaf sendiri asalnya adalah sunnah. Namun demikian banyak ulama yang menyebutkan bisa saja hukumnya menjadi haram jika melakukannya dengan cara yang negatif misalnya mendzolimi orang lain dan sejenisnya.

Sekilas tentang Hajar Aswad.

Hajar artinya batu, Aswad berarti hitam. Dipastikan Hajar Aswaa artinya batu hitam/black stone.

Menurut satu hadits, batu ini semula berwarna putih laksana susu, dosa manusialah yang menyebabkannya menjadi hitam. Yuk cek hadits dari Ibu Abbas berikut ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ »
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hajar aswad turun dari surga padahal batu tersebut begitu putih lebih putih daripada susu. Dosa manusialah yang membuat batu tersebut menjadi hitam”.
Hajar aswad yang menempel di sudut Ka’bah dari arah Rukun Yamani merupakan tanda arah thawaf dimulai dan berakhir, baik thawaf wajib maupun sunnah. Hajar Aswad terdiri dari delapan keping batu yang terkumpul dan diikat dengan lingkaran perak. Batu hitam ini tampak sangat licin karena terus menerus dikecup, dicium, dan diusap-usap oleh miliaran manusia. Bayangkan manusia sejak zaman Nabi Adam A.S. yakni oleh para jamaah yang datang ke Baitullah, baik untuk haji maupun umrah.

Meskipun demikian kita wajib menjaga hati dari sifat syirik saat ingin menyentuh, mencium, atau mengusapnya. Niatkan sebagai bentuk Dzikrullah. Jauhkan dari pikiran bahwa batu ini bisa mendatangkan manfaat atau sebaliknya madharat. Hanya karena Rasulullah melakukannya maka kita disunnahkan mengikutinya.

Umar bin Khatab R.A. menegaskan saat hendak mencium Hajar Aswad pada saat umroh “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau hanya sebongkah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW menciumnya, niscaya aku tidak akan menciummu.” (Hadist No.228 Sahih Muslim). Dalam riwayat lain saat mencium Hajar Aswad beliau berkata: “Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau (Hajar Aswad) tidak dapat mendatangkan bahaya, tidak juga manfa’at. Kalau sekiranya aku tidak melihat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”

“Rasulullah SAW mendatangi Hajar Aswad dan menciumnya, kemudian ia meletakkan kedua pipinya (di atas batu) sambil menangis. Kemudian beliau berkata, ‘Di sinilah ditumpahkan banyak air mata.” (HR Hakim).

Area Hajar Aswad dan sekitarnya merupakan area yang mustajab untuk berdoa

Ada beberapa riwayat lain yang menceritakan keutamaan Hajar Aswad. Hadits Riwayat Abu Hurairah RA pernah mengatakan sabda Rasulullah SAW, “Bahwa di sekitar Hajar Aswad ada 70 Malaikat dan jika seseorang (yang sedang thawaf) berdoa ”Ya Allah berilah aku kebaikan didunia dan akhirat dan jauhkan aku dari siksa api neraka. Maka para malaikat itu akan mengamininya.”

Riwayat lainnya, Abu Huirairah pernah mengatakan pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menyentuhnya, maka sebenarnya ia menyentuh tangan Ar –rahman (tangan Allah)” (HR. Ibnu Majah. Al-Mundziri mengatakan bahwa hadist ini di-Hasankan oleh sebagian ulama Tarmidzi.)

Allahu'al'am...  Allah yang lebih tahu kebenarannya. Sejarah panjang tentang Hajar Aswad bisa kita baca dari banyak literatur. 

Mencium Hajar Aswad

Kembali ke pengalaman yang cukup membuat saya shock saat itu.

Meski tahu bahwa mencium Hajar Aswad merupakah salah satu "the most wanted to do" bagi para peziarah ke Baitullah. Keinginan untuk bisa menciumnya yang demikian menguat di hati saya diluluhkan oleh nasihat Ustadz Pemandu Umroh bahwa kita tidak boleh memaksakan diri dan menjadikannya sebagai target dalam menjalankan ibadah umroh. Menjaga keselamatan diri lebih utama mengingat bisa mencium Hajar Aswad secara faktual bukan hal yang mudah.

Saya kemudian mencatatnya dan sedikit berkompromi dalam hati. Bismillah semoga Allah beri jalan, saya ingin sekali bisa menciumnya, bi idznillah. Tapi insyaAllah saya tidak akan memaksakan diri. Jujur saya berusaha untuk "tetap waras" dan menjaga hati dari keinginan berlebihan.

Baca Juga: Wisata Halal China

Rombongan kami berangkat dari Madinah dan melakukan Miqat di Masjid Bir Ali menjelang Isya

Kami dijadwalkan akan mulai melakukan umroh wajib pada pukul 11 atau 12 malam. Alasan Ustadznya adalah agar tidak terlalu padat. Meski diharapkan bisa istirahat dalam perjalanan dari Madinah ke Mekkah namun tetap saja berbeda kondisinya karena sebagian jamaah bahkan tidak tidur/istirahat dalam perjalanan, termasuk saya. Sesampainya di Hotel kami diberi waktu isitirahat sejenak sekaligus merapihkan koper masing-masing. Menjelang pukul 12 malam kami kemudian turun dan berjalan kaki menuju Baitullah.



Saat itu kondisi Baitullah memang sedang ada renovasi besar-besaran. Biasanya semua orang bisa melakukan thawaf anytime. Karena sebagian area Masjid terutama di depan Ka'bah sedang dalam proses pembangunan/renovasi maka jumlah jamaah yang boleh masuk ke area untuk thawaf dibatasi hanya mereka yang akan melakukan ihram. Penanda paling gampang adalah para laki-laki menggunakan baju ihram. Untuk perempuan mungkin tidak kentara karena pakaian ihram tidak dibedakan dengan pakaian sholat biasa. 

Meskipun dibatasi hanya yang berihram namun tetap saja jumlah jamaah yang akan menjalankan umroh malam itu tampak sangat ramai dan padat. Terlebih banyak area yang ditutup dan diamankan karena sedang dibangun. Sejak awal saat mulai melihat Ka'bah dan membaca do'a melihat Ka'bah hati terasa bergetar hebat. Perlahan kami diarahkan sang ustadz masuk ke dalam lingkaran ribuan manusia yang juga tengah thawaf. 

Kepadatan malam itu membuat saya dan tampaknya sebagian besar dari kami melupakan hasrat ingin mencium atau mengusap Hajar Aswad. Lambaian tangan dari jauh sudah membuat hati bergetar. Kondisi yang padat membuat saya sadar sangat berbahaya memaksakan diri terlebih saya melihat bagaimana ricuhnya perebutan yang terjadi antar jamaah yang ingin mencium batu hitam tersebut.

Saya mengikuti arus thawaf bersama group dan melanjutkan proses umroh hingga selesai sekitar pukul 3 dini hari. Alhamdulillah semua semangat bisa menyelesaiakn prosesi Thawaf dan Sa'i hingga tahallul. Setelah tahallul sebagian rombongan kembali ke hotel untuk istirahat. Saya dan suami beserta beberapa teman menyengaja tidak langsung kembali ke hotel. Tanggung, demikian pikir saya meskipun sejujurnya rasa lelah dan mengantuk mulai menggedor pertahanan. Kembali ke hotel dan melihat kasur empuk, hmm saya khawatir malah jatuh tertidur dan melewatkan shubuh di Masjidil Haram.

Saya mengajak suami untuk kembali masuk Masjidil Haram melakukan thawaf sunnah dan kemudian menunggu Shubuh dengan Tahajjud dan tadarus. Saya bersama seorang rekan wanita, suami juga tampaknya mendapat satu orang teman. Pada saat melakukan thawaf sunnah inilah saya berharap kondisi di seputar ka'bah sudah lebih kosong. Memang kondisi tidak sepadat saat kami thawaf wajib sebelumnya. Namun ternyata kondisi tetap ramai. Banyak Jamaah yang menyengaja untuk Tahajjud di Masjidil Haram dan tentu saja tidak melewatkan untuk melakukan thawaf. 

Kali itu saya berusaha pelan-pelan melipir ke bagian dalam mendekati Ka'bah. Mengingat bukan dalam kondisi Ihram, saya sempatkan mengelus kiswah yang memang wangi (saat ihram/umroh kita dilarang memakai atau mengenakan wewangian). Saya juga sempatkan berhenti sejenak dan berniat masuk ke dalam Hijr Ismail untuk sholat dan  berdoa namun ternyata tidak mudah. Rekan wanita saya yang kebetulan masih single juga rupanya punya pemikiran yang sama. Berharap bisa mendekati  Hajar Aswad dan menciumnya. Kami memang mencobanya, namun melihat kondisi dan peluang yang sulit, kami tidak memaksakan diri. 

Thawaf selesai kemudian kami naik ke atas dan sejujurnya saat itu saya sudah sangat lelah dan mengantuk. Memejamkan mata dan tertidur akan membatalkan wudhu sedangkan kondisi saat itu (karena sedang renovasi besar-besaran) tidak mudah untuk menuju tempat wudhu. Kami menyiapkan botol berisi zam-zam untuk mengantisipasi jika harus berwudhu, cukup dengan membasuh bagian wudhu yang wajib saja.

Baca Juga: Melangitkan Sebuah Rindu untuk Jadi Tamu di RumahMu

Setelah Umroh wajib tunai, kami memang masih diberi kesempatan untuk melakukan umroh kembali dua kali. Meski sifatnya tidak wajib saya yang memang berniat memaksimalkan diri tidak menyiakan kesempatan tersebut. Umroh kedua saya niatkan untuk Alhamrhum Bapanda dan Umroh yang ketiga untuk Almarhumah Mide, nenek dari pihak Ibu sesuai dengan permintaan Mimi (Ibu). Pada kesempatan Umroh kedua inilah kejadian yang berlangsung cepat dan membuat saya seperti masih terkaget-kaget bahkan hingga prosesi umroh usai.

Calo Hajar Aswad?

Kali kedua kami melakukan umroh di siang hari. Miqat dilakukan di Yalamlam. Pada saat itulah kejadian tak terduga terjadi. Karena sudah paham tata cara dan juga sudah tahu medan, maka untuk umroh kedua ini sejak mulai melakukan thawaf kami sudah mandiri dan tidak lagi mengandalkan harus berada dalam grup. 

Pada kesempatan kali ini saya tidak bisa menutupi perasaan dan keinginan saya pada suami untuk bisa mendekat, setidaknya mencoba mendekat dan melihat peluang untuk bisa mencium Hajar Aswad. Suasana siang yang cukup terik, meski hembusan angin bulan Desember mengurangi keganasan sinar mentari. Siang itu sebetulnya seputar Ka'bah tidak sepadat saat saya umroh sebelumnya. Itulah mengapa keinginan untuk mencoba mendekat ke arah Hajar Aswad menguat di hati.

Sampai putaran ketiga kami semakin mendekat saat menjelang memasuki hitungan awal putaran di Rukun Yamani. Seperti menyadari keinginan saya, suami terus mengingatkan. "Sudah jangan memaksa, penuh itu, berebutan gitu bahaya." Astaghfirullah ada sedikit kecewa di hati saya karena jarak saya dan Hajar Aswad tidak lebih dari dua meter, namun banyaknya orang terutama laki-laki yang mengerumuni sudut Hajar Aswad membuat saya mempertimbangkan kembali untuk benar-benar mendekat. Meski sejujurnya saya kekeuh mencoba mencari peluang. Suami tampaknya agak enggan dan tidak mau mengambil resiko. "Bahaya, susah itu" demikian selalu ucapnya.

Pada putaran ke empat menjelang putaran kelima, seperti melihat wajah saya yang fokus melirik ke arah Hajar Aswad untuk melihat peluang tiba-tiba ada bapak-bapak (tentu saja berpakaian ihram juga) tiba-tiba menyapa. 

"Ibu mau dibantu? Mau mencium Hajar Aswad?" 

Karena saat itu fokus saya hanya ke arah Hajar Aswad saya tidak begitu perhatian dengan kondisi sekitar. Ternyata sang bapak ini ada temannya satu lagi.

Suami saya kebetulan posisinya berada di belakang saya.

Saya menoleh: "Yaah ayo, ada yang mau bantu nih"

Sungguh, saat itu saya tidak punya pikiran buruk atau kecurigaan apapun. Saya pikir kedua bapak itu, orang-orang baik yang mau membantu kami. Mungkin mereka melihat upaya saya sedari tadi mendekat, namun saat sudah sangat dekat akhirnya kami kembali menjauh karena sudut Hajar Aswad selalu penuh oleh badan-badan tegap pria yang mengerumuni dan berebutan untuk mencium Hajar Aswad.

Baca Juga: Indahnya Kenangan Sholat Berjamaah di Rumah 

Suami saya tampak enggan, dan raut mukanya tampak sangsi. Jelas sekali sebetulnya keraguan di wajahnya. "Tapi kenapa? kan memang kita pingin bisa mencium Hajar Aswad, pas banget ada yang mau membantu kenapa tidak?" Gumam saya dalam hati.

Sayangnya antusiasme saya menutupi akal sehat saya. "Ayo Yah mumpung ada orang baik."

Tanpa memberi kesempatan kami berpikir, kedua orang tersebut seperti kemudian segera mengkondisikan agar kami mengikuti langkah mereka. Mereka mengapit dari kanan dan kiri saya. Dan ternyata ada dua orang lain juga yang mengapit suami saya. Posisi saya ada di depan suami, saya belum menyadari kalau mereka ternyata berempat.

Dengan cepat (karena posisi kami sebetulnya sudah sangat dekat dengan Hajar Aswad) mereka segera seperti "menggiring saya" melewati titik Hajar Aswad yang saat itu masih penuh dengan orang-orang.



Setelah melewati pojok Hajar Aswad, segera saya diarahkan mendekat dari arah depan. Dari sisi depan, salah satu di antara mereka menggeser orang yang baru saja selesai mencium Hajar Aswad, lalu dengan cepat mengarahkan badan saya menempati posisi mereka. Belum sempat berpikir karena masih kaget, kepala saya ditundukkan. "Ayo Ibu cium." 

Masya Allah saya langsung masukkan kepala dan tak bisa menahan haru dan air mata, langsung mencium batu hitam tersebut. "Bismillah dan Takbir tak lupa saya ucapkan" Rasanya belum hilang rasa gamang dan dada yang tiba-tiba sesak dipenuhi rasa tak biasa, tiba-tiba saya kemudian cepat-cepat ditarik oleh mereka. 

Saya dengar, mereka juga berteriak menyuruh suami saya melakukan hal yang saya. Semua serba cepat dan seperti mimpi.

Sudah bu, ayo lanjut jalan, nanti keinjak-injak. Saya bergegas bergeser ke arah depan.

"Terimakasih ya Pak"  Kata saya polos.

Saya berniat melanjutkan kembali putaran berikutnya dengan sedikit lebih santai. Baru saja melangkah dan kembali membaca dzikir dari buku panduan. Tiba-tiba saya sadar kalau kedua orang tadi mengikuti saya. Suami saya agak jauh di belakang saya dan dipepet oleh dua orang yang lainnya. 

Saya baru sadar ada sesuatu yang tidak beres.

Tiba-tiba bapak yang berada di samping kanan saya menyampaikan blak-blakan. 

"Udah bu, alhamdulillah ya bisa mencium Hajar Aswad. seperti biasanya aja bu, satu orang masing-masing 200 riyal. kami kan ada empat nih bu. "

Owh jadi mereka meminta tips, sebagai ucapan terimakasih kah? saya masih belum berpikir lurus. 

Jujur selama ihram saya tidak pernah membawa uang cash. Suami saya yang membawa uang cash itupun tidak banyak, hanya uang kecil yang jumlahnya tidak seberapa, paling banyak 200 an riyal. Kalau mendadak mau membeli sesuatu, biasanya kami tarik uang real di atm di sekitar plaza di seputar hotel-hotel di Makkah Clock Tower/Makkah Millenium Tower.

"Waah saya gak bawa uang pak..." Lagi-lagi saya menjawab polos sambil berjalan pelan. Kami tidak boleh berhenti karena akan diusir Asykar jika terlihat berhenti di satu titik tertentu.

Saya menoleh ke belakang dan melihat suami sedang bersitegang dengan dua orang rekan dari kedua orang di samping kanan kiri saya.

"Saya gak bawa uang pak, ada cuma beberapa real aja" Suami tampak kesal.

Saya kaget, gak mungkin kan gak bawa uang. Saya tahu suami bawa uang tapi memang tidak banyak.

"Ayah jangan merusak dan membatalkan ihramnya, kasih aja uangnya." Ujar saya sambil menengok ke belakang.

Suami tampak tidak nyaman dan kesal karena dipaksa.

Rupanya suami memberi mereka 50 riyal. Mungkin itu uang yang disimpannya di kantong. Mereka tampak tak terima dan masih menuntut lebih.

"Yang benar aja pak" Saya dengar nada suara kesal dan marah dari salah satu di antara mereka.

"Gak ada lagi pak, memang cuma segitu, saya gak bawa uang banyak".
"Ah masak segitu pak, coba liat dompet bapak."

Bahkan saat hendak membuka dompet, salah satu dari dua orang tersebut langsung mengambil lembaran riyal dari dompet yang baru dibuka suami. 

Tapi anehnya kami tidak dibiarkan berhenti. Jadi posisi masih seperti tengah thawaf.

Saya agak panik, saya baru sadar ada sesuatu yang salah.

"Bu, paling enggak 400 lah bu, jadi masing-masing 100."
Kali ini pria di samping kiri saya bicara lebih sopan. Sedari tadi dia diam sementara rekannya yang di samping kanan saya tampak sudah emosi. 

"Iya pak, tapi gimana ya, saya beneran gak bawa uang. Suami yang bawa tapi memang gak banyak pak." "Kalau saya bawa, saya kasih deh pak, saya gak bohong pak, masak lagi ihram bohong."

"Duuh mereka ini rampok atau apa ya?"

Saya makin bingung.

Saya justru kemudian mempercepat langkah ketika mereka mulai menyurutkan langkah dan kami sudah hampir mendekati kembali Rukun Yamani.

Akhirnya entah bagaimana mereka akhirnya bubar. Wajah suami saya masih tampak kesal.

"Istighfar yaah, jangan marah dan kesal gitu. Udah kasih aja uangnya yang ada."
"Iya memang adanya segitu, mereka gak percaya. Maksa-maksa, ngerebut dari dompet segala."
"Emang uangnya ada berapa?
"Gak tahu tadi berapa. Semua yang di dompet mereka ambil"
"Banyak ya? kira-kira berapa?'
"Enggak sih, kayaknya gak sampai 200 real. Aku kesal karena mereka maksa-maksa dah kayak preman aja."
"Udah-udah istighfar..." Saya berusaha meredam kemarahan suami.
"Udah ikhlashkan aja.."
"Uang bisa dicari, anggap saja kita kasih tips tanda terima kasih sudah dibantu"

Saya sendiri sejujurnya masih gamang dan bingung.

Kami saya lupa hitungan thawaf dan memutuskan menambah 1 kali putaran karena ragu-ragu.
Astaghfirullah, Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billah.

Setelah selesai prosesi umroh hingga tahallul kami kembali ke hotel dan saya yang masih penasaran dengan apa yang saya alami langsung googling.

Dari sanalah saya kemudian baru paham soal "calo Hajar Aswad".

Dari apa yang kami baca, rupanya kasus calo ini bahkan tidak hanya dianggap sebagai tindakan kriminal bagi para calo namun juga bagi jamaahnya. Karena ada kasus di mana Jamaah kemudian juga ditangkap karena dianggap menggunakan jasa ilegal para calo. Bahkan saat tidak ada pembatasan jamaah yang masuk di sekitar area thawaf terutama jamaah pria, para calo ini kabarnya sangat banyak berkeliaran. Keharusan mengenakan pakaian ihram kemudian di satu sisi membatasi jumlah mereka namun di sisi lain menyulitkan jamaah seperti saya yang tidak menduga kalau mereka adalah para calo karena mereka juga mengenakan pakaian ihram.

Pantas mereka tetap waspada dan segera membubarkan diri. Para Asykar memang selalu sigap dengan mata mereka mengawasi gerakan Jama'ah. Ya Allah alhamdulillah tidak terjadi apa-apa terhadap kami. Kalau sampai kejadian kami dianggap kriminal rasanya gak terbayangkan. Apalagi semua berawal dari kepolosan saya dan ketidaktahuan saya soal ini. Inilah mengapa setalah lama saya tahan-tahan, jadi juga saya ceritakan di sini. Semoga menjadi pelajaran buat yang belum tahu.

Saya kemudian mengonfirmasi suami apakah Ia sudah paham tentang mereka?

"Aku pernah denger sih ada yang seperti itu, cuma gak yakin juga kalau mereka benar-benar calo."

Hmm ternyata kami sama-sama tak paham.

Entah apa yang Allah ingin sampaikan kepada kami, terutama kepada saya. Semoga apapun itu, niat saya tetap lurus saat menginginkan bisa mencium Hajar Aswad dan menceritakannya di sini. Semoga Allah ampuni saya jika memang ada kekhilafan saya saat itu. Semoga Allah ridhoi apa yang sudah terjadi. Semoga saya, kami bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.

Beberapa hari kemudian saat kami tengah berjalan sepulang dari Masjidil Haram menuju Hotel yang letaknya melewati semacam "terminal" tempat pool bus-bus jamaah dan melihat salah satu orang yang "membantu" kami mencium Hajar Aswad. Saya langsung panik, memberi tahu suami sambil buru-buru melewati sekumpulan laki-laki yang tampak sedang bercengkrama termasuk orang tadi. Bapak tersebut mengenakan celana jins dan kaos. Saya yakin karena dengan mudah saya mengenali logat bicaranya yang sangat khas (salah satu suku di negara kita).

Allahu a'lam, apapun cerita di balik kisah ini.
Saya bersyukur bisa mendapati pengalaman yang sungguh terus membuat mata saya menahan air yang terasa penuh di sudutnya. Semoga Allah beri kesempatan melakukannya lagi dan lagi dengan kemudahan dan ridhoNya. Amiin.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Komunikasi Suami Isteri

Family Fun Time With Colour to Life Faber-Castell

Mengenal Spektrum Elektromagnetik