Melangitkan Sebuah Rindu Tuk Jadi Tamu di RumahMu
Duh semoga judulnya gak berasa lebay yaa.
Tapi mengunjungi Baitullah merupakan satu rindu yang tidak hanya jadi mimpi di kala tidur buat saya. Mendengar orang bercerita tentangnya sering membuat hati saya bergemuruh. Melihatnya di televisi, di timeline medsos, di broadcast wa, atau bahkan jika tanpa sengaja melihatnya sekalipun sering membuat mata saya berkaca, tak jarang lalu ada yang mengalir di sudutnya. Pun ada yang menyentak-nyentak di balik dada. Saya merasakannya sebagai sebuah rindu.
Seperti hati yang terasa perih saat nama Baginda Rasul disebut lalu saya seperti ditampar mengingat akhlak dan perilaku yang masih jauh dari teladan yang diwariskannya kepada umatnya. Duhai Rasul saya rindu, rindu, sedemikian rindu. Umatmu yang penuh noda dan jauh dari kesempurnaan sosokmu ini berharap engkau sudi menerima rindu yang kututipkan lewat hembusan angin.
Berkunjung ke rumah Allah, ke tanah haram, ke Masjid Nabawi seperti suatu yang jauh untuk digapai namun demikian kuat keinginan hati mewujudkannya. Selalu teringat bagaimana kisah yang terjalin antara almarhum Bapanda dengan Baitullah. Sosok yang sangat saya cintai dan belum mampu saya bahagiakan ini dipanggil guru oleh ribuan muridnya. Mereka menyebutnya Kiyai. Tapi saat berbincang tentang rukun Islam yang kelima, dalam nada bicaranya yang selalu semangat dan penuh asa, saya sering mendengar nada yang berbeda.
Lelaki yang beberapa kali ditawari oleh baik oleh keluarga jauhnya atau orang yang bersimpati dan menaruh percaya kepadanya untuk mengupayakannya bisa mengunjungi Baitullah dan menunaikan rukun Islam terakhir ini selalu menolak bahkan hingga akhir hayatnya. Sebelum mimpi saya memergikannya ke Baitullah bisa saya (tepatnya kami anak-anaknya) wujudkan :(
Meski sangat sensitif, saya yang cukup cuek, berani, dan dekat dengan alm. Bapanda pernah menanyakannya. "Kenapa Bapa selalu menolak diberangkatkan Haji?" Jawaban sederhananya (yang selalu membuat saya merasa berhutang, kelak saat saya mampu saya akan berangkatkan beliau ke tanah suci, - mungkin mimpi semua kakak-kakak dan adik-adik saya juga),
"Bapa merasa belum mampu, Bapa merasa belum dikenai kewajiban ini. Kalian belum mentas semua." "Bapak juga melihat lingkungan sekitar yang jauh lebih membutuhkan penanganan ketimbang dibayarkan untuk ongkos berhaji jikapun Ia memiliki kemampuan finansial untuk itu." Saya tahu bahwa kerinduannya akan Baitullah berusaha disimpannya rapi di dadanya. Sayangnya tidak bisa ditutupi dari pancaran sinar asa di matanya. Saya melihatnya, membuat saya semakin terenyuh.
Bapa berpulang tahun 2001. Kakak-kakak saya baru menapaki kehidupan keluarga dan karir mereka Mereka baru bertumbuh. Saya baru menyelesaikan kuliah S-1 dan sedang menjalani S-2 dengan biaya yang pontang panting saya usahakan sendiri termasuk dari beasiswa. Sedih bukan kepalang karena tekad saya untuk mewujudkan misi memergikannya ke Baitullah harus selesai sampai di situ.
Alhamdulillah saat saya mendapat beasiswa ke Australia dan adik saya mendapatkan beasiswa ke Inggris, kami bersepakat menabung dan menyiapkan dana untuk memergi-hajikan Miminda, Ibu kami yang tak kalah lelah perjuangannya membesarkan kami mendampingi almarhum Bapa. Alhamdulillah akhirnya beliau bisa berhaji di 2007. Saat itu antrian haji belum mengular seperti saat ini. Sedih dan haru saat beliau dengan tenaga tuanya menceritakan dengan semangat selain menyelesaikan hajinya, beliau sudah mengumrohkan Bapanda, Kakek dan Nenek saya. Saya menangis dalam hati, suatu hari insyaAllah saya umrohkan juga Bapa.
Afirmasi ini kemudian terus saya kumandangkan dalam sanubari saya. Hanya dalam hati sanubari. Saya sungkan mengungkapkannya kepada siapapun. Selain orang terdekat saya, suami. Suatu saat semoga Allah izinkan saya bisa menjadi tamu di rumahnya. Bisa berumroh, insyaAllah juga tentu ingin berhaji. Amiin.
Buat sebagian orang perjalan menuju rumahNya mungkin bukan hal yang besar, sebagaimana bagi sebagian lagi ini merupakan hal yang besar dan harus diperjuangkan. Saya mungkin masuk kelompok yang memerlukan perjuangan untuk bisa mewujudkannya. Tidak apa-apa karena perjuangan itulah yang membuat semuanya menjadi demikian penuh arti ketika akhirnya bisa terwujud.
Allah Mampukan yang Ia Panggil
Saya ingat pernah membuat status di FB pada suatu sore. di 12 January 2014 lewat BlackBerry Smartphones saya: "Bukan Allah memanggil yang mampu, melainkan Allah mampukan yang Dia panggil. Smoga kita bs memantaskan diri untuk dipanggilNya. Amiin" #doasore
Berawal dari sanalah kemudian saya berusaha memantaskan diri untuk Dia panggil. Hikss haru biru hati saya menuliskan ini.
Muncul kesadaran dalam diri saya bahwa pada dasarnya kemampuan tidak semata-mata soal biaya karena bukanlah Allah memanggil yang mampu, tapi akan Allah mampukan mereka yang Ia panggil. Maka kemampuan itu ada baiknya dimulai dari kemauan untuk memampukan diri, untuk memantaskan diri menjadi yang dimampukan olehNya. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Meski masih punya cicilan rumah saat itu, saya selalu menyisihkan sebagian pendapatan yang selain untuk membantu kelangsungan roda rumah tangga juga untuk tabungan yang sekiranya penting dan emergency. Salah satu usaha memantaskan diri untuk mendapat panggilannya adalah dengan menyetop (perlahan tapi pasti) segala urusan saya yang berkaitan dengan riba. Berusaha segera melunasi hutang-hutang dan cicilan lewat perbankan, meminta suami menghentikan menggunakan kartu kredit atau setidaknya mengurangi hanya untuk kebutuhan mendesak, menahan diri untuk tidak meminjam (kembali) dengan sistem riba dan sejenisnya. Semua berproses, tidak mudah, dan butuh komitmen kesungguhan. Laa haula wala quwwata illa billah.
Pada tahun 2015 saya mendapat project di luar pekerjaan kantor yang nilainya cukup lumayan. Langsung saya gabungkan dengan sedikit uang tabungan yang memang saya niatkan untuk itu. Saat itu ada teman yang baru saja pergi umrah dengan paket promo dari F**** Travel (You know lah). Berawal dari situ dan dengan minimnya pengetahuan saya tentang pernak pernik perjalanan umroh, dengan tanpa buruk sangka , saya segera mendaftarkan diri dan langsung melunasinya untuk saya dan suami.
Semua masih kami keep berdua. Hmm bahkan saat akhirnya kami tidak jadi berangkat di detik-detik terakhir, tidak ada yang tahu kecuali Trio Krucils kami.
Akhir 2015 saya mendaftarkan diri ke biro travel tersebut dan dijanjikan akan diberangkatkan pada akhir tahun 2016 atau paling lambat awal 2017. Kami menunggu, lagi-lagi tanpa buruk sangka.
Qadarullah Tertunda
Menjelang akhir 2016 dan tak ada kabar berita, saya yang semula tenang dan tak pernah berpikir macam-macam mulai gerah. Saya kemudian mulai mencari info dan ternyata ada beberapa kasus yang mulai muncul dan mencurigakan. Saya kemudian dijanjikan akan diberangkatkan sebelum bulan ramadan sekitar bulan Mei tahun 2017. Setidaknya sudah ada kepastian bulan, saya dan suami kembali pada aktivitas harian dan mengabaikan perasaaan was-was kami. Terlebih semua persyaratan untuk keberangkatan telah mereka minta kepada kami dan sudah kami serahkan seluruhnya.
Paspor, Surat Vaksin, dan seterusnya. Intinya hanya tinggal menunggu visa. Koper, kain ihrom, buku, batik dan perlengkapan sudah diterima. Hingga menjelang hari H kami diinfokan bahwa jadwal kami mundur. InsyaAllah awal ramadhan. Untungnya saat itu kami belum mengajukan cuti ke kantor. Kami juga belum menyampaikan hal ini kepada siapapun. Bersamaan dengan itu satu per satu fakta kecurangan biro travel ini mulai terkuak.
Dengan hati sedih dan terluka saya memaksa suami untuk mengurus semuanya dan mengajukan refund. Karena mereka kemudian menjanjikan keberangkatan di akhir 2017. Ah saya sudah terlanjur kecewa dengan proses pengunduran yang berbagai masalah komunikasi yang sangat membuat hati lelah. Saya menguatkan hati untuk mengajukan refund. Refund namun hingga hari ini belum ada dana jamaah yang dikembalikan. Proses pengajuannya tidak mudah, seolah-olah pihak managemen mempersulit. Saya kekeuh. Karena kecewa, saya serahkan urusan ini pada suami. Saya banyak menangis bahkan saat mendengar cerita suami bagaimana kondisi para jama'ah lain yang juga menjadi korban. Mulai dari orang-orang tua, mereka dari jauh, dan sebagainya.
Jujur saat itu saya luar biasa down. Bukan semata karena hilangnya uang yang masih saya ingat bagaimana perjuangan mengumpulkan dan meniatkannya untuk tujuan itu. Duuh, betapa sedihnya saya. Kejadian ini membuat saya tidak percaya diri dan merasa sangsi. Adakah Allah enggan memanggil saya? padahal Allah tahu betapa rindu saya untuk bisa menjadi tamunya 😢😢😢 Beribu tanya hadir dalam diri hingga sampai pada kesimpulan, mungkin kami belum pantas menjadi tamuNya. Hikss...
Allah Siapkan Waktu Terbaik
Bukan mudah untuk kemudian mengikhlashkan semua peristiwa ini. Saya memang mengajukan refund tapi sebagaimana diketahui seperti ratusan ribu jamaah lainnya, nasib kami tidak jelas hingga hari ini bahkan ketika para pelaku sudah dituntut dengan tuntutan pidana. Sungguh saya bukan orang yang paling bernasib buruk dalam hal ini. Banyak yang kondisinya lebih memprihatikan dari kami berdua. Itu membuat saya makin menangis dan geram. Ya Rabb...orang-orang ini betapa teganya menggadaikan impian suci ke Baitullah demi kesenangannya sendiri.Banyak yang bersusah payah (lebih susah dari kami) mengumpulkan rupiah demi impian bisa ke Baitullah dan impian mereka kandas begitu saja. Ah semoga Allah gantikan dengan yang lebih baik. Mungkin mereka sama seperti saya yang tidak paham dengan (katanya) keganjilan paket umroh yang ditawarkan. Kalau saya memang tidak melakukan survey terlebih dahulu dan karena ada teman sendiri yang terbukti bisa pergi, saya tidak terpikir kalau ini sebuah penipuan.
Selama ramai polemik dan isu ini di luaran kami berdua menahan diri untuk tidak berkomentar atau menyatakan sikap apapun. Lagi-lagi tidak ada yang tahu soal ini kecuali anak-anak dan teman saya yang sebelumnya berhasil berangkat dengan travel ini seperti yang saya ceritakan di awal.
Sedih, limbung, cukup membuat drop semangat diri, namun saya berjanji untuk menyimpannya sendiri. Bersama waktu satu yang kemudian saya coba pastikan dalam diri, ini hanya masalah waktu. Allah pasti punya skenario yang lebih baik. Mungkin saat ini belum waktu yang tepat. Allah mungkin ingin menguji kesungguhan saya. Cobaan ini pasti karena Allah sayang.
Lalu entah keberanian dari mana, mungkin Ia titipkan lewat hembusan air di subuh hari-hariku, akhirnya saya setelah diskusi dengan suami memberanikan diri memesan tiket perjalanan Malaysia - Jeddah - Istanbul - Jeddah - Jakarta dengan Pesawat Saudia dan bergabung dengan rombongan Ubepe "Umroh Backpakcer". InsyaAllah cerita lengkapnya akan saya tuliskan kemudian.
Saat itu pertengahan 2017, di tengah galau sekaligus sedih karena kegagalan kepergian saya kemudian mencari tahu tentang teknis perjalanan umroh, biro travel, dan hal-hal terkait hingga akhirnya Qadarullah diperkenalkan pada FB Group "Ayo Ke Mekkah" yang merupakan grup di mana para umroh dan haji "backpacker" berkumpul, sharing pengetahuan, rencana perjalanan, dan seterusnya dan seterusnya.
Hingga akhirnya saya dipertemukan dengan Group Pak Fauzan dengan Tour Leader Mba Evie Yulistyawati yang kemudian membantu proses rencana keberangkatan kami. Ternyata bahkan ada program manasik, meet up group, dan seterusnya hingga kami bisa berangkat akhir tahun 2017. Alhamdulillah.
Saat memesan tiket kami sudah tahu kalau harus menyiapkan sekian dollar untuk Land Arrangement (LA) pada beberapa bulan ke depan. Sekitar 1 bulan sebelum jadwal kebrangkatan dan tanggal tiket, uang untuk LA ini harus dilunasi. Well uangnya belum ada saat itu, namun entah mengapa saya yakin entah bagaimana caranya pada tenggat waktu yang diberikan akan ada jalan yang Allah tunjukkan.
Alhamdulillah kemudian LA terbayar tepat waktu. Cerita yang melatarbelakanginya juga tidak kalah mengharu biru. Dengan kisah pilu sebelumnya yang kemudian bersama waktu bisa kami terima dan coba cari sisi positifnya. Kami merasa kemudian persiapan keberangkatan kemarin alhamdulillah sangat Allah mudahkan. Terlebih semua syarat administrasi sudah kami siapkan akhir tahun 2016.
Hanya saja drama yang agak melelahkan justru terjadi saat kami harus mengambil berkas paspor asli dan surat keterangan vaksin meningitis di biro travel tadi. Ternyata meski sudah tertipu mengambil berkaspun kami dipersulit. Kondisi travel X saat itu sudah kacau balau. Alhamdulillah akhirnya, kami bisa juga mendapatkan paspor dan kelengkapan lainnya sebelum proses pengajuan visa bersama Grup Ubepe.
Urusan dengan travel X sudah saya pasrahkan sepenuhnya sama Allah. Bahkan saat kemarin kami melihat diberita tuntutan maksimal jaksa pada para terdakwa saya tetap belum melihat keadilan bagi sekian ribu jamaah yang pernah tergadaikan harapan dan mimpinya. Saya pribadi sudah bergabung dengan beberapa jamaah lain yang mengajukan perkara secara perdata lewat PKPU dengan Komnas Perlindungan Haji dan Umroh yang kebetulan salah satu lawyernya saya kenal. Hanya saja memang belum ada kabar baik terkait proses keperdataan ini terlebih para terdakwa sudah dipidanakan. Saya serahkan sama Allah saja. Semoga semua korban mendapat ganti yang lebih baik atas izin Allah dalam bentuknya masing-masing.
Allah Tambahkan Nikmat
Saya kemudian bisa berangkat dengan suami di akhir 2017 lalu dan melewati tahun baru 2017 di tanah haram. Alhamdulillah inipun sudah merupakan peristiwa yang luar biasa. Membasuh luka yang saya rasa akibat kegagalan sebelumnya. Terlebih atas rizki dan izin Allah kami juga bisa menikmati wisata ke Istanbul dan sekitarnya di Turki di akhir 2017 tersebut. Alhamdulillah...karena Turki juga merupakan salah satu negara impian saya. Saya mengalami 2 kali gagal pergi ke Turki dalam rangka dinas sebelumnya. Lalu saya seperti mendapat jawaban dari Allah, it is just a matter of time Ophi. Alhamdulillah bisa ke Turki sendiri dan bukan urusan dinas. Siapa sangka?
Perjalanan terindah dalam hidup saya yang semoga Allah ridhoi. Akhirnya saya bisa menunaikan janji untuk juga mengumrohkan Almarhum Bapanda, setelah terlebih dahulu tunai umrah saya. Tidak hanya itu yang membuat saya demikian tergugu di depan Ka'bah. Beban persoalan yang saya bawa dan adukan padanya membuat saya merasa tak ingin beranjak dari sana.
Air mata yang mengalir deras di Raudhoh,
Ciuman di Hajar Aswad yang takkan terlupakan dengan kisah tak disangka yang menyertainya, Tangisan setiap kali melihat rumahNya yang mulia,
Haru yg melingkupi dada mengenang beratnya perjalanan Bunda Hajar,
Ah semuanyaa.
Perpisahan yang paling berat.
Sungguh enggan mengakhiri hari-hari di Haramain.
Rindu bahkan membuncah ketika harus kembali pada “real life” ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
Ya Allah panggil lah kami (lagi), karena hanya dengan panggilanMu kami bisa kembali. Karena panggilanMu lah kami pantas untuk datang.
Ternyata lewat jalan ini akhirnya kami bisa menuntaskan rindu yang ternyata masih menyisakan kerinduan berikutnya.
Semoga Allah Ridho...
Langitkan saja semua mimpi baikmu, Allah yang kuasa mewujudkannya. Mintakan padaNya, beserta pantaskan diri untuk menggapainya.
Komentar
Posting Komentar